Agustus 12, 2014

Terima Kasih Ayah (Dehan Hanifah)

2 komentar
Kebahagiaan meliputi perasaanku hari itu. Hari dimana aku dan tiga orang temanku akan menginjakkan kaki untuk yang pertama kalinya di Bandung untuk registrasi perkuliahan di semester pertama. Kami daftar melalui jalur SBMPTN dengan mengajukan beasiswa dari pemerintah. Tapi sebenarnya beasiswa itupun belum pasti karena katanya masih ada seleksi. Yaa,,, tapi kami punya cadangan, yaitu beasiswa hafalan Al-Qur’an. Kebetulan kami semua sudah mengikuti program unggulan di pondok, yaitu tahfidz Al-Qur’an, walaupun hafalan kami masih sedikit, tapi memenuhi persyaratan lah.
Dengan kepolosan yang masih melekat, kami tidak tahu apa-apa mengenai perkuliahan, kami berangkat ke Bandung menuju salah satu universitas Islam negeri tanpa uang sedikitpun kecuali hanya untuk bekal.
“Bagaimana kalo pas disana nanti kita malah disuruh bayar jutaan?” kata temanku tertawa mengingat kami memang tidak membawa uang sedikitpun.
“Iya juga ya. Yaa, tapi itu gimana nanti aja deh, yang penting sekarang kita berangkat aja dulu.” Kataku yakin. Kami memang bertekad untuk kuliah gratisan, hehe karena keluarga kami hanya orang biasa. Kami pun berangkat dengan perasaan senang yang bercampur takut. Takut nyasar, takut kuliah jadinya bayar, takut lapar--ehhh gak sih kalo buat makan ada kok. Hehe
Sesampainya di depan kampus, seorang sosok yang tak asing telah menuggu kami dengan sambutan sebuah senyuman yang manis. Sebelumnya kami memang telah meminta bantuan para alumni untuk mengarahkan apa yang harus kami lakukan untuk mengurusi Registrasi kami.
Oh iya, perkenalkan namaku Ifa Nurrahmah, seorang gadis yang berasal dari Kota Intan, Garut. Aku ke Bandung bersama teman sekelas dan sepesantren, yaitu Nur, Zulfakor, dan Abdul. Alumni yang tadi menunggu kami namanya Ridwan. Selain ka Ridwan ada juga alumni lain yang membantu kami yaitu teh Gita dan ka Masykur. Mereka semua begitu baik pada kami. Mereka rela kepanasan—yang waktu itu memang sedang tengah hari—dan bulak-balik untuk mengantarkan kami ke pihak kemahasiswaan.
Sungguh terkejutnya kami ketika ternyata beasiswa itu akan didapatkan jika kami telah resmi menjadi mahasiswa. Artinya kami harus registrasi dengan membayar uang sekitar tiga jutaan. Yang paling membuat kami bingung adalah terakhir registrasi itu besok, jadi kami harus punya uang tiga juta dalam waktu sehari.
Kebingungan membuat semangat kami pudar. Abdul menghubungi kakaknya yang juga kuliah di universitas yang sama, dan ternyata kakaknya juga lagi punya uang, jadi Abdul sudah bisa bernafas lega. Zul tidak mengambil pusing masalah ini karena dia sudah lulus juga dengan jalur lain yang tanggal registrasinya masih lama. Nur kebingungan harus bilang apa ke kedua orangtuanya. Sedangkan aku bilang apa adanya ke kedua orang tua dan kakakku yang sedang kuliah di Jogja. Kakakku mamberikan uang yang dia punya untuk meringankan beban ayahku, ayahku tinggal mencari sisanya. Walaupun sebenarnya aku berharap-harap cemas, tapi aku tidak mengatakannya pada keluargaku.
“De, kalau misalkan uangnya belum ada, gak papa ya gak kuliah tahun ini, mesantren dulu aja, kasihan ayah harus cari uang sebanyak itu hanya dalam waktu sehari. Ya walaupun ayahmu itu semangat mencarikanmu uang untuk kamu kuliah, tapi kalau tidak ada kamu harus sabar ya.” Kata ibu manasihatiku.
“Iya Bu. Aku gak papa kok.” Tanpa sadar aku berkata dengan suara parau. Aku memang berpikir tak apa tidak kuliah tahun ini. Tapi sebenarnya hatiku berkata lain. Sepertinya ibuku tau apa yang kurasakan, beliau menelponku berkali-kali hanya untuk menasihatiku. Begitu juga dengan ayahku, beliau terus menelponku, “Sabar ya, De. Insya Allah ayah sedang mengikhtiarkan.” Aku tak kuasa berbicara dengannya, suaraku semakin parau. Ayah aku tak ingin menyusahkanmu.
Aku mengambil air wudlu, kemudian shalat, menenangkan hati, dan mengadu pada-Nya. Begitu malu diri ini menghadap-Nya. Aku serius menghadap-Nya karena sedang membutuhkan sesuatu.
Ketika suara adzan berkumandang, hendphoneku berdering.
“De, uangnya udah ayah transfer. Serius ya De.” kata ayahku. Alhamdulillah, Allah mengabulkan do’aku atau mungkin do’a orang tuaku yang Dia kabulkan. Hatiku tiba-tiba terasa lega. Suaraku yang parau berubah nyaring kegirangan. Aku jadi malu sendiri pada ayahku. Setelah mendengar kabar itu aku segera shalat ashar dan langsung pergi ke bank bersama teh Gita untuk membayar uang registrasi.
Perjuangan awal yang memberatkan. Bukan memberatkan ku karena aku hanya duduk diam menunggu. Tapi memberatkan ayahku.
Itu baru pas registrasi aku menyusahkan ayahku di awal perkuliahan, belum lagi pas cari pondok, mempersiapkan semua kebutuhanku, dan banyak lagi lainnya selama setahun ini.
Perjuangan, pengorbanan dan semangat ayahku membuatku bertahan disini. Di kota Bandung. Yang sebenarnya aku lebih mengharapkan kota Jogja untuk berjuang. Jika aku pindah ke jogja, pengorbanan ayahku selama setahun terakhir ini terasa sia-sia karena di jogja aku harus memulainya lagi di awal.
“Serius ya De, fokus. Jangan lupa hafalan Al-Qur’annya terus di muraja’ah. Yang sabar. Belajar yang rajin. Maafkan ayah jika belum bisa penuhi semua keinginan ade.” Entah berapa puluh atau bahkan ratusan kali kata-kata ayah itu terdengar di balik saluran telpon. Kata-kata itu terkadang membuatku tak bisa lagi menahan air mata. Apalagi ku sadari, usaha ku disini belum maksimal. Terkadang aku masih boros, malas menghafal, menyia-nyiakan waktu, dan banyak kegiatan sia-sia lainnya yang ku lakukan.
“Ayah, maafkan aku, aku belum bisa melaksanakan semua nasihat yang ayah berikan. Maafkan aku yang belum bisa membalas jasa dan membahagiakanmu. Jangan pernah meminta maaf atas keinginanku yang belum bisa kau penuhi, karena itu bukan salahmu. Terima kasih Ayah, terima kasih untuk segalanya.”

Juli 09, 2014

Aku ingin menjadi istrimu By Asma Nadia

0 komentar

"Bang, aku ingin menjadi istrimu," pintaku pelan.

Tapi lelaki, tempat cintaku berlabuh setahun ini, bagai tak mendengar. Ia terjerat hari-hari yang sibuk. Pergi pagi, dan pulang ketika senja usai. Tak jarang dini hari baru pintu rumahnya terdengar berderit.

Aku tahu, karena hampir tiap malam aku menunggunya. Kesetiaan, yang membuahkan kantung yang menggelap di bawah mataku.

"Kenapa matamu, Nia? Makin hari makin tak bersinar saja. Jangan terlampau sering begadang."

Mama, seperti juga yang lain, tak pernah mengerti alasanku berjaga tiap malam. Tak ada yang memahami apa yang kutunggu. Kecuali Bandi, tempat cintaku bersandar. Ia tak pernah sekalipun menyinggung soal mataku yang kian cekung. Mungkin karena lelaki seperti dia mengerti jerih payah orang yang mencintai. Kesetiaan yang mengalahkan penglihatan fisik.

Tidak seperti pasangan-pasangan lain, dalam angan kebanyakan orang, kami memang berbeda. Kesibukan Bandi menafkahi keluarganya, membuat lelaki itu harus bekerja ekstra keras. Meskipun begitu, pertemuan kami rutin. Walaupun hanya sebentar sekali.

Di luar waktu kerjanya sebagai wartawan, lelaki itu menyempatkan diri menulis cerpen, puisi, resensi, opini, apa saja, untuk banyak media. Komputer, ia belum punya. Itulah mengapa Bandi rajin berlama-lama di kantor.

Dan sebagai pasangan yang setia, aku harus mengerti.

Sosoknya yang pekerja keras, itu yang membuatku makin terpikat. Jatuh hati kian dalam. Lainnya?

"Abang bisa mengetik di rumah. Kapan saja Abang mau. Tak usah sungkan."

Minggu sore itu, dengan baju kurung yang baru selesai dijahitkan Mama semalam, kami berbincang sebentar di teras rumah. Tapi tawaranku yang tak sepenuhnya tulus, hanya karena ingin bersamanya lebih sering, ditolaknya halus.

"Jangan, Nia. Abang pulang dari kantor sudah malam. Tak enak sama orang tuamu.”

Kalimat tegasnya menunjukkan kemandirian, dan mental yang bukan aji mumpung. Bukan tanpa alasan aku menawarinya mengetik, mengingat kami punya lebih dari enam komputer di rumah. Paviliun rumah memang sejak lama aku jadikan rental komputer dan warnet. Meski awalnya tak setuju karena orangtuaku berpikir kami tak kekurangan uang, toh rental yang kukelola kemudian berjalan semakin baik. Uang mengalir, pelanggan puas. Di sisi lain, aku tak pernah lelah menanti Bandi pulang. Tidak masalah apakah ia pulang lebih awal, seperti yang sesekali terjadi, atau bahkan menjelang pagi. Sosoknya yang kukuh dengan ransel hitam di punggungnya, tak pernah terlewat dari mataku.

*****

"Aku ingin jadi istrimu, Bang." bisikku lagi.

Tahun kedua berlalu, dan waktu makin meluruhkan hatiku atas sosok keras bernama Bandi. Lelaki tegap, dengan kulit kecoklatan yang baik hati dan perhatian.

"Pagi-pagi begini sudah buka?"

Aku mengangguk. Menyembunyikan debaran jantung yang gemuruh, dan napas tersengal karena berlari dari kamar, hanya untuk mengejar bayangnya.

"Bang Bandi pun sepagi ini sudah jalan? Biasanya jam tujuh seperempat, kan?"

Lelaki itu tertawa. Giginya yang kecil-kecil berbaris rapi. Memberikan pemandangan yang membuatku jatuh cinta, lagi dan lagi. Perasaan yang membuatku seperti tak pernah merasa cukup mengambil kursus. Kemarin belajar masak, lalu bikin kue, kemudian menjahit, ahh apa lagi? Biarlah, yang penting aku bisa membahagiakan Bandi.

Di depanku lelaki pujaan itu masih tersenyum. Baru kemudian kusadari sesuatu yang membuatku tersipu. Apa kataku barusan? Tujuh seperempat? Ah, pengamatan yang sedetil itu, sungguh memalukan! pikirku terlambat.

Tapi Bandi menutup perasaanku yang tak karuan dengan senyum lebar, dan sebuah buku di tangannya.

"Untukmu, Nia. Belum terlalu lama terbit. Bagus sekali isinya tentang...."

Dan lelaki yang tadi berjalan tergesa-gesa, untuk sesaat seperti lupa bahwa ia sedang memburu waktu. Dengan antusias, kedua tangannya bergerak-gerak, memberiku gambaran sepintas isi buku yang disodorkannya.

Wajahnya yang semangat.

Aku menatapnya, dengan perasaan terjerembab. Kagum dengan sosoknya yang

cerdas, sekaligus merasa beruntung karena aku diberi kesempatan mencintainya.

Hari-hari kami sederhana namun indah. Ia membawakanku banyak buku, yang kubalas dengan setoples kue-kue buatanku sendiri. Begitu indahnya hingga tahun ketiga berlalu. Kemudian terlewat tahun keempat. Selama itu, aku tak pernah lelah mengungkapkan dan menyatakan betapa ingin aku menjadi istrinya.

Bandi tak pernah menjawab keinginanku. Aku menenangkan diri dengan berbagai pikiran positif. Barangkali kesibukan, mungkin ia belum merasa siap, ucapku menghibur hati, setiap kali perasaan ragu timbul.

Tapi kesabaran akan penantian, boleh jadi hanya milikku. Sebab Mama kemudian seperti tak punya kerjaan lain, kecuali memburuku dengan kalimat itu.

"Menikahlah, Nia. Apalagi yang kau tunggu?"

Bandi! Tak ada yang lain. Dan tak bisa yang lain!

Tahun berikutnya, Papa ikut mendesakku.

"Anak Om Hasnan baik, Nia. Kehidupannya pun mapan. Dia direktur termuda, di perusahaan Om Hasnan."

Aku tidak sedikit pun tertarik. Lelaki yang kaya karena cucuran harta orang tua, mana bisa memenangkan hatiku? pikiranku terbawa pada Bandi. Sosoknya, kerja kerasnya, peluh keringat yang tampak jelas masih menempel di dahinya, setiap melintasi jendela kamarku.

Anak Om Hasnan mungkin baik, tapi dia tidak seperti Bandi.

Lalu calon-calon lain disodorkan. Tetapi setiap kali, kepalaku makin terlatih menggeleng dan melahirkan helaan napas putus asa dari Papa.

Mama mendekatiku dengan cara serupa. Menawarkan calon demi calon yang dirasanya pantas, dan mengangkat martabat orang tua.

Tapi selalu saja kutemukan nilai minus pada mereka. Gilang, tak pernah serius. Herry terlalu adventurir, buat seorang Nia yang pecinta rumah. Sementara Agus terlalu matematis.

Cuma Bandi;, yang cerdas dan memiliki sikap merakyat, yang merebut semua nilai plus, bahkan dalam kesederhanaannya.

Cuma Bandi, yang membuatku tak sungkan merendahkan harga diri dengan berkali-kali mengungkapkan harapanku. Tak pernah bosan membisikkan kalimat itu,

“Aku ingin menjadi istrimu,"

Namun seperti yang sudah-sudah, kalimatku hanya terbawa angin, dan menguap tanpa bekas.

Bandi, seperti tak menyediakan tempat, untuk sebuah pernikahan.

*****

“Cinta,”

Suatu hari kudengar kalimat itu dari bibirnya. Jelas, tanpa keraguan.

“Cinta harusnya saling mengerti, hanya dengan menatap. Bukan begitu Nia? Cinta, harusnya tak perlu membuat dua orang kekasih harus saling mengemis. Cinta….”

Ia mendesah. Pandangannya nanar. Aku bisa merasakan kesedihan hatinya hari itu.

Tapi cintaku tak berkata apa-apa lagi. Ia pergi setelah lebih dulu menyodorkan sebuah buku yang membuatku menangis berhari-hari. Sungguh, belum pernah ada kisah asmara yang kubaca dan menorehkan begitu banyak kesedihan, setelah Romeo dan Juliet.

“Bagus sekali, Bang. Nia sampai menangis dibuatnya.”

Bandi hanya tersenyum tipis. Tangannya yang kokoh menerima buku yang kukembalikan. Tuhan, begitu ingin aku bersandar dalam rengkuhannya.

Tapi tangan itu selalu sopan, tak pernah menjamahku.

“Cinta itu menghormati, Nia. Cinta tak saling memanfaatkan.”

Aku mengangguk. Seperti biasa terbius oleh kata-kata Bandi. Terpesona oleh akuratnya kata dan laku lelaki itu.

Bandi tak menyentuhku, bukan tak cinta. Justru karena ia cinta. Bukankah seperti katanya, cinta itu tak kurang ajar? Cinta menghormati?

“Bang, aku ingin menjadi istrimu,” bisikanku mulai bercampur isak. Ahh, betapa inginnya. Kenapa Bandi tak bisa mengerti? Bukankah dua orang yang saling menyinta harusnya saling memahami, hanya dengan memandang?

Lalu bertubi-tubi, kegembiraan yang menyedihkan itu datang.

“Kak Nia, maafkan Ita.”

Aku mengangguk. Meski sesudahnya aku perlu berhari-hari untuk menumpahkan tangis dalam diam di bantalku.

Lalu Riza, Nina, dan terakhir….

“Kak, Linda minta maaf.”

Giliran adik bungsuku meminta. Aku mengangguk. Menahan air mata yang menggayut memberati mataku. Seharusnya aku bahagia, adik-adikku menamatkan kisah cinta mereka lebih dini.

Pernikahan adik bungsuku dirayakan besar-besaran oleh kedua orang tua kami. Seolah Mama dan Papa telah letih, dan memutuskan tak perlu menyimpan sedikit pun tabungan untuk anak mereka yang sulung.

Tapi tahun memang berlalu secepat malam tiba. Aku tak menyadari kapan Mama dan Papa mulai berhenti memintaku menikah. Yang kutahu tak ada lagi nama-nama yang mereka sodorkan padaku. Awalnya hal itu membuatku merasa bebas, ya…bebas menunggu Bandi. Baru kemudian kusadari hatiku yang hempas, anehnya oleh sesuatu yang tak pernah berubah.

Bandi tak berubah sedikit pun. Masih seperti dulu. Pergi jam tujuh seperempat, dan pulang ketika malam tenggelam. Sosoknya pun masih sama, sabar, kuat dan perhatian.

Aku pun tak pernah berubah. Masih menemaninya dengan setia. Berdandan rapi di pagi hari untuk melepasnya ke kantor. Malamnya, menanti kepulangan lelaki itu meski hanya lewat gorden jendela kamarku.

Tidak tahukah Bandi bahwa kedua mataku ini hanya bisa terlelap setelah memastikan sosoknya yang gagah memasuki rumah?

Tapi ketiadaan kemajuan dalam hubungan kami tidak membuatku berhenti meminta. Seperti juga malam itu.

“Bang, aku ingin menjadi istrimu,” kataku pelan dengan air mata meleleh.

Tapi Bandi meski tetap ramah dan baik hati, seperti yang sudah-sudah tak juga menanggapi. Padahal kesabaranku, bakti dan kesetiaanku…. Lalu kue-kue yang selalu berganti resep setiap minggu?

“Bikin kue apalagi sepagi ini, Nia?”

Aku tak menjawab pertanyaan Mama. Sudah pukul tujuh lewat sepuluh. Lima menit lagi Bandi akan lewat, dan aku tak boleh terlambat.

Kakiku bergegas ke pintu depan. Di tanganku, setoples kue coklat bertabur kismis, tampak manis dan menggoda.

Bersyukurlah, dalam kesederhanaan. Dalam ketiadaan. Bersyukur dengan apa yang kita miliki.

Bandi sering mengulang-ulang kalimat itu. Mungkin maksudnya supaya aku tak lagi berulang-ulang mengucapkan kalimat itu, keinginanku untuk menjadi istrinya. Aku mengangguk. Melambaikan tangan pada Bandi yang pagi itu melintas dengan banyak tas di tangan.

Berikutnya adalah hari-hari yang tak kumengerti. Sebab Bandi tak pernah kelihatan lagi. Ia lenyap dan dengan cepat kusadari ketika malam itu hingga azan Subuh bergema, aku tak melihat lelaki tercinta itu memasuki rumahnya.

Perasaan panik serta-merta melanda diriku. Ya Allah, sesuatu mestilah menimpa lelaki terkasih itu.

Tapi, kecuali aku, sepertinya tak ada orang lain yang merasa kehilangan. Bahkan tidak ayah dan ibu, serta adik-adiknya yang enam orang itu.

Aku mulai menangis. Selama beberapa hari bahkan tak ada sesuap nasi pun yang bisa kutelan. Ketika sepekan lewat dan Bandi tak juga kembali, aku menenggelamkan diri dalam kamar. Menguncinya dan tidak membiarkan siapapun mengusik kesedihanku.

Bandi, sesuatu pasti terjadi pada dia! batinku tak mungkin dibohongi. Keluarga Bandi pastilah hanya menghibur ketika mengatakan lelaki itu mendapatkan pekerjaaan dengan gaji besar di luar negeri. Tidak mungkin Bandi tak mengabarkan padaku informasi sepenting itu. Bukankah aku cintanya, seperti dia cintaku?

Setiap hari, kuhabiskan waktu dengan meringkuk di kamar, sementara mataku terus terpaku, mengintip dari balik gorden, mencari-cari bayangan Bandi yang bisa kapan saja datang, mungkin dalam keadaan terluka. Oh Tuhan!

Kedua mataku terasa penat karena terlalu banyak menangis dan berjaga. Aku tak lagi ingat makan, mandi, bahkan tak peduli sama sekali dengan kelangsungan rental yang kurintis. Bandi lebih penting dari itu semua!

Mama dan Papa serta adik-adikku tentu saja terlihat sedih. Tapi mereka sama sekali tak paham apa yang kurasa. Gelombang kepedihan, perasaan hampa, seolah hampir seluruh nyawaku tercerabut, membuatku tak memiliki keinginan melakukan apapun.

Syukurnya, melewati tiga bulan dalam masa-masa berduka, setitik harapan muncul.

Bandi tak apa-apa. Perasaanku mengatakan dia masih hidup, dan bisa pulang kapan saja. Mungkin sebentar lagi.

Lalu tubuhku dirasuki tenaga baru. Hari itu kuputuskan keluar kamar. Sinar matahari yang selama ini kumusuhi, segera saja menyipitkan mataku. Tapi kegembiraan meledak-ledak, mengalahkan semua keengganan.

Cepat, seperti tak ingin kehilangan waktu, aku mengambil baju yang paling baik yang kupunya, lalu berlari ke kamar mandi. Menyeka tubuhku keras-keras dengan spon sabun, hingga bersih dan dipenuhi aroma harum sabun. Selepas mengenakan baju, kusemprotkan minyak wangi, lalu berhias secantik mungkin.

Orang-orang yang tak mengerti mengatakan bedakku terlalu tebal. Aku hanya mencibir. Mereka tak memahami sosok istimewa yang kunanti.

Tapi hari itu Bandi belum pulang. Tak apa. Yang penting adalah aku selalu siap, jika ia sewaktu-waktu datang. Bajuku harus rapi, tubuhku harus wangi, rambutku harus selalu dikeramas tiap hari. Bedak, sedikit lipstik kucoretkan dibibirku yang akhir-akhir ini sering pecah-pecah. Aku tak ingin ada yang terlewat. Semua harus sempurna, ketika Bandi pulang nanti.

Lelaki itu sudah pergi lama, ia pasti kangen padaku. Pada canda tawa kami, pada hubungan sederhana namun indah yang selama ini terjalin. Ia juga pasti rindu dengan kue-kueku. Ya Tuhan, sudah berapa lama aku tak lagi membuat kue-kue dan menaruhnya di toples, untuk Bandi?

Maka sejak hari itu, telah kutekadkan, supaya tak ada hari berlalu tanpa kue-kue baru yang kubikin. Bukankah sebentar lagi tahun baru tiba, dan Bandi mungkin akan pulang?

Ketika tahun baru lewat, dan aku menunggui Bandi di depan pagar rumah kami hingga kedinginan, Mama menyelimuti tubuhku yang menggigil dengan selimut. Tapi aku tetap menunggu.

Mungkin Bandi akan pulang ketika musim liburan. Mungkin bulan puasa tahun depan. Hmm, tidak! Aku tersenyum. Bandi akan pulang lebaran tahun depan, pasti!

Pikiran itu membawa langkahku ke ruang dalam. Bukan ke kamar seperti harapan kedua orang tuaku. Pikiranku padat oleh banyaknya pekerjaan yang akan menungguku sampai Bandi pulang nanti. Membuat kue-kue kesukaan lelaki tercinta itu. Juga baju baru. Sambil tanganku sibuk mengaduk adonan tepung terigu bercampur gula, keju dan entah apa lagi, pikiranku mengembara. Mengenang Bandi. Betapa rindunya.

Besok dan besoknya lagi, kesibukan yang sama menungguku. Kue-kue dan jahitan baju baru. Setiap hari. Aku ingin siap ketika Bandi pulang. Aku ingin rapi, ingin cantik.

Sedikit pun tak ada kesangsian akan kesetiaan Bandi padaku. Meski terdengar kabar Bandi telah menikah, atau Bandi sudah betah di luar negeri dan tak ingin kembali, aku tak pernah percaya.

Suatu hari Bandi akan pulang dan memenuhi permintaanku untuk menjadi istrinya. Seperti yang selama ini selalu kubisikkan dalam hatiku menjelang tidur.

“Bang, aku ingin menjadi istrimu.”

Dan aku tahu, Bandi mengerti perasaanku sepenuhnya. Permintaanku.

Sebab cinta harusnya saling mengerti, hanya dengan memandang. (Bukan begitu Nia?) Cinta, harusnya tak perlu membuat dua orang kekasih saling mengemis. Cinta….

* diambil dari kumpulan cerpen: Aku Ingin Menjadi Istrimu, Asma Nadia(Asma 'Rani' Nadia) dan Birulaut(Andi Biru Laut), Lingkar Pena 2004

Februari 13, 2013

cinta setulus hati

0 komentar
  



















 Harus sabar menanti saat ini
saat terindah dalam hidupku
... menyandingmu sepenuh hati
ku menanti

Segala puji saatnya tiba kini
maharku ku ini untuk dirimu
ku serahkan sebagai saksi
cinta setulus hati

aku tak ingin terpisah darimu
walau sesaat aku tak ingin
aku berharap cintaku padamu
tak akan terluruh waktu

cinta ini semoga tak akan mati
cintaku ini cinta sejati
murni karena niat yang suci
cinta setulus hati

Januari 19, 2013

mahasiswi vs mahasantri

0 komentar
Mahasiswi vs Mahasantri

By : Nela Azizah
Photo: Mahasiswi vs Mahasantri

By : Nela Azizah 



Disa gak habis fikir kenapa papan takdir harus mencatat nama Ilham Fathoni sebagai lelaki pertama yang berani datang mengkhitbah dirinya. Seandainya bukan dia, tapi seorang ikhwan kampus yang cerdas…, Seandainya gak terlalu cerdas juga, yang penting dia orang kuliahan yang berakhlak…, Seandainya...seandainya…percuma saja! Kalau sudah terjadi, ternyata buang-buang waktu saja memikirkan seandainya. Uuugh…, benci…benci…benci…! Rasanya jadi geregetan pengen nangis!

 “Mau tahu apa komentar Ayah?” Curhatnya pada Vinny. Sahabatnya itu mengiyakan dengan isyarat mata.

 “Konsekuensi sebagai seorang muslim, kita harus berusaha menjalankan ajaran Rasulullah SAW dengan ikhlas. Kalau beliau mengatakan : Jika datang kepadamu seorang lelaki yang kamu ridhai agama dan amanahnya, maka nikahkanlah ia. Bila tidak, akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar (H.R. Tirmidzi dan Ahmad); Maka Ayah pun mesti menaatinya. Jelas aja beliau gak berani nolak dia mentah-mentah, biarpun santri itu sama sekali bukan tipeku!”

 “Semudah itu?”

 “Ya nggak lah! Survei dan istikhoroh dulu. Katanya sih harusnya aku juga istikhoroh, tapi mana mau? Keselnya, sejauh ini aku gak melihat kemungkinan beliau bakal mengubah pendiriannya. Padahal minggu depan keluarga Ilham akan datang mendengar keputusan kami. Please…, tolong dong Vin, kasih aku saran gimana caranya menghadapi masalah serumit ini?”, Disa hampir menangis.

 “Kamu sendiri udah menyampaikan keberatan pada Ayahmu?”

 “Pasti lah Vin, tapi aku gak bisa bicara apa-apa setelah beliau bilang bahwa kekhawatiranku hanyalah sangkaan belaka, sedangkan jawaban Allah pasti benarnya!”

 Vinny manggut-manggut. “Oke…oke…, tenang dulu dong…! Memangnya apa sih kekurangan Ilham yang benar-benar gak bisa kamu terima?”

 Disa menatap lekat mata sang sobat, memohon pengertiannya. “Pendidikannya! Dia cuma lulusan SMP, Vin! Masa harus jadi suami aku sih? Gimana jadinya rumah tanggaku nanti?” sekarang ia benar-benar terisak.

 Vinny belum bisa ngomentar. Oh…, begitu rupanya! Pantes aja si bintang kampus yang sering berjanji hanya mau nikah dengan pria yang lebih pintar dari dirinya itu merasa keberatan! Hhh…, sungguh kasihan! batinnya iba. 

 “Tadi kamu bilang dia santri kan? Berarti belajarnya gak sampai SMP doang lho, Dis!” ia berusaha menghibur.

 “Tetap aja pola fikirnya gak bakalan imbang sama mahasiswi kayak kita, mana bisa aku menghormatinya sebagai suamiku nanti?”

 “Jangan sombong lho, Dis! Siapa tahu kan?”  

 “Justru aku tahu itu, Vin! Dia tuh mondoknya di pesantren salafiyah, pesantren tradisional yang kajian pelajarannya kitab-kitab kuning klasik. Kalau di pesantren modern kayak Gontor sih gak masalah!”

 Sahabatnya mengernyitkan dahi. “Kok tahu dunia pesantren sih?”

 “Tetanggaku yang bilang. Dia satu pesantren sama Ilham. Rasanya aku sudah  bisa menebak seberapa luas wawasan mereka berdua!”, Disa enteng.

 Vinny terdiam… “Ngomong-ngomong, berapa lama sih dia mesantrennya?”, tanyanya kemudian.

 “Siapa?”

 “Ilham”

 “Kata tetanggaku sih sepuluh tahun!”

 “Sepuluh tahun…? Wow…!”, sang sobat salut. “Tetanggamu sendiri?, sepuluh tahun juga?”

 “Boro-boro, paling juga baru dua tahun!”

 “Kalau begitu, beda jauh sama Ilham dong Dis! Masa iya orang yang udah mondok sepuluh tahun disejajarkan sama yang baru dua tahun sih? yang benar aja!”, Vinny cepat menukas.

 “Coba dong renungkan Dis, mondok sepuluh tahun…ingat, sepuluh tahun! Ilham bukan santri lagi, tapi udah mahasantri. Kalau sekolah selama itu, sekarang dia udah jadi Master, lebih tinggi daripada kita yang jadi Sarjana pun belum!”, lanjutnya bersemangat.

 Disa mengangkat kedua alisnya…mencerna kata-kata Vinny. “Mahasantri…? Boleh juga tuh! Aku jadi ingin mengetes seberapa layak dia menjadi pendamping hidupku!” ujarnya tak terduga. Setelah itu ia terlihat menulis pesan via ponselnya.
 
 Vinny geleng-geleng kepala. Disa…Disa! Begitulah kebiasaannya kalau lagi punya masalah. Mulanya curhat, lalu minta pendapat, tapi ujung-ujungnya dia sendiri yang suka menemukan solusinya. Hmm…, apa begitu ciri khas orang yang cerdas? Pikirnya lucu.

 “Oke…, besok gak ada kuliah kan? Tolong temani aku nemuin dia ya Vin, please…! Masa’ mau ketemuan berdua aja kan nanti yang ketiga setan?”   
    
           Vinny mengangguk sambil senyam-senyum tanda mengerti. 

Malam ini Disa gak bisa lekas tidur. Ia terus berfikir mencari soal-soal yang mesti diajukannya pada Ilham besok, yang sekiranya dapat membuat mahasantri itu tak berkutik lalu membatalkan niatnya menikahi dirinya. 

 Satu…dua…tiga jam lebih ia habiskan waktunya untuk begadang. Belasan soal dari berbagai bidang studi akhirnya berhasil ia himpun. Yes…, sekarang gadis itu bisa terlelap dengan tenang!

****
 Saat yang dijanjikan pun tiba. Ilham, Disa dan Vinny kini tengah  duduk berhadap-hadapan di tempat yang ditunjuk Disa kemarin.  

 “Ngomong-ngomong, kenapa mas berani melamarku?” setelah sedikit basa-basi mahasiswi itu mengawali perbincangan pentingnya dengan nada cukup kecut. Sang sobat menegur sambil menyikutnya. Disa membalas dengan gerakan telunjuk, mengingatkan posisi Vinny sesuai kesepakatan sebelumnya : menjadi saksi bisu! 

“Karena dik Disa wanita, dan belum ada yang memiliki”, jawab Ilham sangat tepat, namun sungguh mengecewakan si penguji. Betapa tidak, ia berharap lelaki itu meminta maaf karena berani mengajukan pinangan pada wanita yang berpendidikan lebih tinggi darinya. Huuh, dasar gak tahu malu! Dadanya bergemuruh. 

“Terus, aku kan masih kuliah. Mas gimana? Apa udah lulus?”, ia sengaja menyinggung masalah tersebut.

“Saya tidak kuliah, tapi nyantri!” Ilham percaya diri. Benar-benar mengesankan sekaligus mengesalkan sang mahasiswi.

“Kenapa nyantri? Kuliah kan lebih menjanjikan?” Ia kepalang angkuh, peduli amat pertanyaan-pertanyaannya sekarang malah keluar jauh dari deretan soal yang semalam ia persiapkan.

“Kewajiban kita kan menuntut ilmunya. Kuliah atau nyantri hanyalah pilihan. Adapun tentang masa depan, kewajiban kita hanya berusaha untuk meraih  semampunya. Selebihnya urusan Tuhan.”

Disa hampir kelabakan, namun… “Ya…tentu saja itu benar, tapi pesantren salafiyah kan gak formal. Bertahun-tahun belajar disana gak akan dapat ijazah formal buat ngelanjutin ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi ataupun mencari kerja. Sayang sekali bukan?”

“Itulah mungkin masalah yang belum bisa kami tangani. Meskipun bagi kami menuntut ilmu itu sebenarnya harus dilakukan lillahi ta`ala, tapi karena peraturan tertentu di negara kita seperti yang barusan kamu sampaikan, tampaknya sangat bijak bila pendidikan pesantren salafiyah pun diformalkan seperti sekolahan. Sejauh ini pemerintah baru menyediakan program kesetaraan pendidikan melalui program paket B atau C yang bisa diselenggarakan di pesantren. Itu juga sudah Alhamdulillah, tapi artinya masih belum menempatkan pendidikan pesantren murni di posisi yang setingkat dengan sekolahan. Oh ya, sebagai mahasiswi, barangkali mbak bisa memberikan saran?” sang mahasantri berujar apa adanya. 

Disa tercengang, ia harus melawan perkataannya sendiri! “Apa…? Menyetarakan pendidikan pesantren murni dengan sekolahan agar sama-sama formal? Ya gak mungkin lah, bidang kajiannya juga beda jauh!” sergahnya tanpa fikir panjang.

“Hm.., menurutmu begitu ya? Padahal tampaknya itu bukan masalah. Bukankah sekolah juga mengenal spesialisasi pendidikan? Apa memang tak bisa kalau misalnya pendidikan pesantren salafiyah disamakan dengan jurusan PAI di sekolahan mungkin?” rupanya pemuda itu bukan santri sembarangan.

Lawan bicaranya melongo. “Kalau begitu, fikir aja sendiri! Kenapa malah nanya aku?” Disa jadi sewot. Tengsin berat, guys! Masa iya jawaban mahasiswi jempolan gak mutu sih, diprotes santri lagi, atau…mahasantri? Huh, apapun sebutannya, muka Disa jadi makin merah! Hihi, kalau hati panas, kerja otak memang suka terganggu!

“Maaf, saya hanya bermaksud untuk bertukar fikiran!” Ilham merasa bersalah juga. Disa pura-pura gak mendengarnya. Vinny menahan tawa sekuatnya.  

Jeda. Tanpa dikomando, ketiga orang itu kini kompak menikmati menu yang telah dipesannya masing-masing.

“Ehem!” Disa berdehem. “Tadi kamu bilang mau bertukar fikiran kan? Bisa kita lanjutkan?” ujarnya tak berapa lama. Ternyata saat makan pun, otaknya terus bekerja. Sepertinya ia pun tak rela kalah debat. 

“Boleh!” sang pemuda tenang.

“Masih tentang perbandingan antara pesantren dan sekolahan, khususnya perguruan tinggi. Jujur saja, menurutku lulusan perguruan tinggi lebih layak diunggulkan daripada keluaran pesantren. Mereka lebih banyak berkiprah di berbagai lapangan kehidupan bermasyaraakat daripada para santri. Buktinya, mereka bisa jadi ekonom, politikus, hakim, sejarawan, sastrawan, filosof, dokter, insinyur dan sebagainya. Sedangkan alumni pesantren paling hanya bisa menerjuni satu profesi, jadi ustadz atau kyai! Peranan yang sangat minim bukan?” Si gadis terus berusaha memojokkannya, dan sekarang ia yakin akan berhasil.

“Tepatnya ustadz atau kyai yang serba bisa! Sungguh, hampir semua materi yang berkaitan dengan setiap profesi yang mbak sebutkan pun dipelajari di pesantren. Di bidang ekonomi ada kajian mu`amalah, bidang politik dan kekuasaan ada siyasah waddaulah, bidang hukum pidana ada jinayat, bidang sejarah ada tarikh, bidang sastra ada balaghah, bidang filsafat ada manthiq. Lebih lengkapnya, cobalah sesekali mbak berkunjung ke pesantren!” Ilham mengklarifikasi dengan tutur katanya yang elegan. 

Disa ternganga. “Kalau bidang kedokteran, kedirgantaraan, kelautan, geologi, konstruksi, kimia, fisika…apa iya kalian juga mengkajinya?” kejarnya sinis.

“Kalau materi-materi itu kami tak mempelajarinya!” mahasantri itu merendah, membuat rivalnya segera memamerkan senyum kemenangan. Disa kini  puas.

 “Sama saja, ilmu-ilmu yang dipelajari di sekolahan pun terbatas lho! Mungkin banyak juga materi pelajaran pesantren yang justru tidak kami kenal sama sekali…” kali ini Vinny terpaksa bersuara. Ia merasa emosi sang sobat sudah  saatnya mulai dikendalikan. 

Disa memandangnya terkejut. Vinny membalasnya dengan senyuman was-was. 

“Mbak Disa ini kabarnya sangat pintar ya? Eh, sekarang terbukti.” Ilham  berusaha mencairkan suasana.

 “Benar tuh, Mas! Disa ini juara umum sejak zaman SD dulu sampai sekarang lho!” Vinny menguatkan. 

 “Ah, biasa aja kok!” yang dipuji ketus. 

“Hmm, kalau sahabatnya sendiri yang bilang, saya justru tambah percaya”, Si jejaka menimpali seraya tersenyum manis ke arahnya. 

Disa buru-buru memalingkan muka. Entahlah, dialog-dialog tadi ditambah  senyuman tulus dan tatapan sekilas sang mahasantri barusan tiba-tiba membuat jantungnya berdesir-desir halus. Masih terngiang perkataan tetangga sebelumnya, “Mas Ilham itu kepercayaannya Pak Kyai. Orangnya kan cerdas dan alim, jadi banyak santriwati yang naksir padanya. Pak Kyai sendiri sudah beberapa kali menawarkan calon istri padanya. Tapi gak ada yang diterima sama Mas Ilham. Eh, ternyata cinta Mas Ilham cuma buat Mbak Disa seorang…”. Tanpa sadar mahasiswi itu mesem-mesem sendiri.

“Disaaa, senyum ke siapa sih…? Mas Ilhamnya kan disini…!” Vinny tak tahan untuk tidak  menggodanya, dan itu benar-benar membuat Disa tersipu malu. 

Disa jadi grogi…

*****




*** Cerpen ini karya salah satu sahabat di sini lhoh yang turut berpartisipasi berkirim cerita, Namanya Nela Azizah
Mau berkenalan langsung dengan penulisnya? Sapa FBnya https://www.facebook.com/nela.azizah



*** Mari lakukan tindakan kongkrit untuk membantu saudara-saudara kita di Palestina.

#PrayForPalestina salurkan infak terbaik anda ke #FLPPeduliUmat BSM 7033101858 an. FORUM LINGKAR PENA. Jangan lupa konfirmasi sms 081572014615 (hikaru) untuk pencatatan donatur

NB: Buat yang berminat membuat foto pribadi menjadi kartun seperti ini silakan menghubungi
http://www.facebook.com/kawanimut2 melalui inbox untuk detail2 prosedur pemesanannya. Dan setiap pemesan akan dibuatkan kartun dirinya dalam beberapa format, model dan kreasi sesuai keinginan seperti pose wedding, pose cute dll.
Dan tentunya tidak gratis lho yaa? Kalau gratis desainernya pasti kewalahan karena permintaan pasti banyak sekali)


NB: Bagi yang ingin share atau tag dipersilakan saja. Yang melalui komputer tinggal klik tandai/tag gambar lalu klik siapa saja yang akan ditag. Dan bagi yang melalui hape dan kesulitan mengetag diri-sendiri bisa minta bantuan temannya buat ngetag dan bisa mengetag teman2 yang lain juga. Caranya ajak teman anda untuk LIKE page ini dulu kemudian minta kepada teman anda untuk mengetag-kan dan anda juga bisa mengetag dia juga. Dan mohoooonn sebagai imbal balik tolong jangan hanya mengetag diri sendiri namun juga bantu teman-temannya untuk mengetagkan. Jika gagal berarti tagnya sudah penuh dan coba pindah ke gambar yang lain yang masih kosong. Dan buat yang pengen karyanya diterbitin di page ini juga boleh, silakan saja kirimkan ke inbox redaksi page ini untuk kemudian diseleksi. Atau yang punya file novel/cerpen karya penulis favoritnya juga bisa dikirim buat dishare
Selamat mencoba ^_^





LIKE http://www.facebook.com/IloveOriginalKawanimut

FOLLOW https://twitter.com/#!/Kawanimut

Download gambar-gambar cantik Kawanimut di blog resmi http://kawanimut.multiply.com/

Atau dapatkan gambar ukuran aslinya di website http://www.desainkawanimut.com/

 
Disa gak habis fikir kenapa papan takdir harus mencatat nama Ilham Fathoni sebagai lelaki pertama yang berani datang mengkhitbah dirinya. Seandainya bukan dia, tapi seorang ikhwan kampus yang cerdas…, Seandainya gak terlalu cerdas juga, yang penting dia orang kuliahan yang berakhlak…, Seandainya...seandainya…percuma saja! Kalau sudah terjadi, ternyata buang-buang waktu saja memikirkan seandainya. Uuugh…, benci…benci…benci…! Rasanya jadi geregetan pengen nangis!

“Mau tahu apa komentar Ayah?” Curhatnya pada Vinny. Sahabatnya itu mengiyakan dengan isyarat mata.

“Konsekuensi sebagai seorang muslim, kita harus berusaha menjalankan ajaran Rasulullah SAW dengan ikhlas. Kalau beliau mengatakan : Jika datang kepadamu seorang lelaki yang kamu ridhai agama dan amanahnya, maka nikahkanlah ia. Bila tidak, akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar (H.R. Tirmidzi dan Ahmad); Maka Ayah pun mesti menaatinya. Jelas aja beliau gak berani nolak dia mentah-mentah, biarpun santri itu sama sekali bukan tipeku!”

“Semudah itu?”

“Ya nggak lah! Survei dan istikhoroh dulu. Katanya sih harusnya aku juga istikhoroh, tapi mana mau? Keselnya, sejauh ini aku gak melihat kemungkinan beliau bakal mengubah pendiriannya. Padahal minggu depan keluarga Ilham akan datang mendengar keputusan kami. Please…, tolong dong Vin, kasih aku saran gimana caranya menghadapi masalah serumit ini?”, Disa hampir menangis.

“Kamu sendiri udah menyampaikan keberatan pada Ayahmu?”

“Pasti lah Vin, tapi aku gak bisa bicara apa-apa setelah beliau bilang bahwa kekhawatiranku hanyalah sangkaan belaka, sedangkan jawaban Allah pasti benarnya!”

Vinny manggut-manggut. “Oke…oke…, tenang dulu dong…! Memangnya apa sih kekurangan Ilham yang benar-benar gak bisa kamu terima?”

Disa menatap lekat mata sang sobat, memohon pengertiannya. “Pendidikannya! Dia cuma lulusan SMP, Vin! Masa harus jadi suami aku sih? Gimana jadinya rumah tanggaku nanti?” sekarang ia benar-benar terisak.

Vinny belum bisa ngomentar. Oh…, begitu rupanya! Pantes aja si bintang kampus yang sering berjanji hanya mau nikah dengan pria yang lebih pintar dari dirinya itu merasa keberatan! Hhh…, sungguh kasihan! batinnya iba.

“Tadi kamu bilang dia santri kan? Berarti belajarnya gak sampai SMP doang lho, Dis!” ia berusaha menghibur.

“Tetap aja pola fikirnya gak bakalan imbang sama mahasiswi kayak kita, mana bisa aku menghormatinya sebagai suamiku nanti?”

“Jangan sombong lho, Dis! Siapa tahu kan?”

“Justru aku tahu itu, Vin! Dia tuh mondoknya di pesantren salafiyah, pesantren tradisional yang kajian pelajarannya kitab-kitab kuning klasik. Kalau di pesantren modern kayak Gontor sih gak masalah!”

Sahabatnya mengernyitkan dahi. “Kok tahu dunia pesantren sih?”

“Tetanggaku yang bilang. Dia satu pesantren sama Ilham. Rasanya aku sudah bisa menebak seberapa luas wawasan mereka berdua!”, Disa enteng.

Vinny terdiam… “Ngomong-ngomong, berapa lama sih dia mesantrennya?”, tanyanya kemudian.

“Siapa?”

“Ilham”

“Kata tetanggaku sih sepuluh tahun!”

“Sepuluh tahun…? Wow…!”, sang sobat salut. “Tetanggamu sendiri?, sepuluh tahun juga?”

“Boro-boro, paling juga baru dua tahun!”

“Kalau begitu, beda jauh sama Ilham dong Dis! Masa iya orang yang udah mondok sepuluh tahun disejajarkan sama yang baru dua tahun sih? yang benar aja!”, Vinny cepat menukas.

“Coba dong renungkan Dis, mondok sepuluh tahun…ingat, sepuluh tahun! Ilham bukan santri lagi, tapi udah mahasantri. Kalau sekolah selama itu, sekarang dia udah jadi Master, lebih tinggi daripada kita yang jadi Sarjana pun belum!”, lanjutnya bersemangat.

Disa mengangkat kedua alisnya…mencerna kata-kata Vinny. “Mahasantri…? Boleh juga tuh! Aku jadi ingin mengetes seberapa layak dia menjadi pendamping hidupku!” ujarnya tak terduga. Setelah itu ia terlihat menulis pesan via ponselnya.

Vinny geleng-geleng kepala. Disa…Disa! Begitulah kebiasaannya kalau lagi punya masalah. Mulanya curhat, lalu minta pendapat, tapi ujung-ujungnya dia sendiri yang suka menemukan solusinya. Hmm…, apa begitu ciri khas orang yang cerdas? Pikirnya lucu.

“Oke…, besok gak ada kuliah kan? Tolong temani aku nemuin dia ya Vin, please…! Masa’ mau ketemuan berdua aja kan nanti yang ketiga setan?”

Vinny mengangguk sambil senyam-senyum tanda mengerti.

Malam ini Disa gak bisa lekas tidur. Ia terus berfikir mencari soal-soal yang mesti diajukannya pada Ilham besok, yang sekiranya dapat membuat mahasantri itu tak berkutik lalu membatalkan niatnya menikahi dirinya.

Satu…dua…tiga jam lebih ia habiskan waktunya untuk begadang. Belasan soal dari berbagai bidang studi akhirnya berhasil ia himpun. Yes…, sekarang gadis itu bisa terlelap dengan tenang!

****
Saat yang dijanjikan pun tiba. Ilham, Disa dan Vinny kini tengah duduk berhadap-hadapan di tempat yang ditunjuk Disa kemarin.

“Ngomong-ngomong, kenapa mas berani melamarku?” setelah sedikit basa-basi mahasiswi itu mengawali perbincangan pentingnya dengan nada cukup kecut. Sang sobat menegur sambil menyikutnya. Disa membalas dengan gerakan telunjuk, mengingatkan posisi Vinny sesuai kesepakatan sebelumnya : menjadi saksi bisu!

“Karena dik Disa wanita, dan belum ada yang memiliki”, jawab Ilham sangat tepat, namun sungguh mengecewakan si penguji. Betapa tidak, ia berharap lelaki itu meminta maaf karena berani mengajukan pinangan pada wanita yang berpendidikan lebih tinggi darinya. Huuh, dasar gak tahu malu! Dadanya bergemuruh.

“Terus, aku kan masih kuliah. Mas gimana? Apa udah lulus?”, ia sengaja menyinggung masalah tersebut.

“Saya tidak kuliah, tapi nyantri!” Ilham percaya diri. Benar-benar mengesankan sekaligus mengesalkan sang mahasiswi.

“Kenapa nyantri? Kuliah kan lebih menjanjikan?” Ia kepalang angkuh, peduli amat pertanyaan-pertanyaannya sekarang malah keluar jauh dari deretan soal yang semalam ia persiapkan.

“Kewajiban kita kan menuntut ilmunya. Kuliah atau nyantri hanyalah pilihan. Adapun tentang masa depan, kewajiban kita hanya berusaha untuk meraih semampunya. Selebihnya urusan Tuhan.”

Disa hampir kelabakan, namun… “Ya…tentu saja itu benar, tapi pesantren salafiyah kan gak formal. Bertahun-tahun belajar disana gak akan dapat ijazah formal buat ngelanjutin ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi ataupun mencari kerja. Sayang sekali bukan?”

“Itulah mungkin masalah yang belum bisa kami tangani. Meskipun bagi kami menuntut ilmu itu sebenarnya harus dilakukan lillahi ta`ala, tapi karena peraturan tertentu di negara kita seperti yang barusan kamu sampaikan, tampaknya sangat bijak bila pendidikan pesantren salafiyah pun diformalkan seperti sekolahan. Sejauh ini pemerintah baru menyediakan program kesetaraan pendidikan melalui program paket B atau C yang bisa diselenggarakan di pesantren. Itu juga sudah Alhamdulillah, tapi artinya masih belum menempatkan pendidikan pesantren murni di posisi yang setingkat dengan sekolahan. Oh ya, sebagai mahasiswi, barangkali mbak bisa memberikan saran?” sang mahasantri berujar apa adanya.

Disa tercengang, ia harus melawan perkataannya sendiri! “Apa…? Menyetarakan pendidikan pesantren murni dengan sekolahan agar sama-sama formal? Ya gak mungkin lah, bidang kajiannya juga beda jauh!” sergahnya tanpa fikir panjang.

“Hm.., menurutmu begitu ya? Padahal tampaknya itu bukan masalah. Bukankah sekolah juga mengenal spesialisasi pendidikan? Apa memang tak bisa kalau misalnya pendidikan pesantren salafiyah disamakan dengan jurusan PAI di sekolahan mungkin?” rupanya pemuda itu bukan santri sembarangan.

Lawan bicaranya melongo. “Kalau begitu, fikir aja sendiri! Kenapa malah nanya aku?” Disa jadi sewot. Tengsin berat, guys! Masa iya jawaban mahasiswi jempolan gak mutu sih, diprotes santri lagi, atau…mahasantri? Huh, apapun sebutannya, muka Disa jadi makin merah! Hihi, kalau hati panas, kerja otak memang suka terganggu!

“Maaf, saya hanya bermaksud untuk bertukar fikiran!” Ilham merasa bersalah juga. Disa pura-pura gak mendengarnya. Vinny menahan tawa sekuatnya.

Jeda. Tanpa dikomando, ketiga orang itu kini kompak menikmati menu yang telah dipesannya masing-masing.

“Ehem!” Disa berdehem. “Tadi kamu bilang mau bertukar fikiran kan? Bisa kita lanjutkan?” ujarnya tak berapa lama. Ternyata saat makan pun, otaknya terus bekerja. Sepertinya ia pun tak rela kalah debat.

“Boleh!” sang pemuda tenang.

“Masih tentang perbandingan antara pesantren dan sekolahan, khususnya perguruan tinggi. Jujur saja, menurutku lulusan perguruan tinggi lebih layak diunggulkan daripada keluaran pesantren. Mereka lebih banyak berkiprah di berbagai lapangan kehidupan bermasyaraakat daripada para santri. Buktinya, mereka bisa jadi ekonom, politikus, hakim, sejarawan, sastrawan, filosof, dokter, insinyur dan sebagainya. Sedangkan alumni pesantren paling hanya bisa menerjuni satu profesi, jadi ustadz atau kyai! Peranan yang sangat minim bukan?” Si gadis terus berusaha memojokkannya, dan sekarang ia yakin akan berhasil.

“Tepatnya ustadz atau kyai yang serba bisa! Sungguh, hampir semua materi yang berkaitan dengan setiap profesi yang mbak sebutkan pun dipelajari di pesantren. Di bidang ekonomi ada kajian mu`amalah, bidang politik dan kekuasaan ada siyasah waddaulah, bidang hukum pidana ada jinayat, bidang sejarah ada tarikh, bidang sastra ada balaghah, bidang filsafat ada manthiq. Lebih lengkapnya, cobalah sesekali mbak berkunjung ke pesantren!” Ilham mengklarifikasi dengan tutur katanya yang elegan.

Disa ternganga. “Kalau bidang kedokteran, kedirgantaraan, kelautan, geologi, konstruksi, kimia, fisika…apa iya kalian juga mengkajinya?” kejarnya sinis.

“Kalau materi-materi itu kami tak mempelajarinya!” mahasantri itu merendah, membuat rivalnya segera memamerkan senyum kemenangan. Disa kini puas.

“Sama saja, ilmu-ilmu yang dipelajari di sekolahan pun terbatas lho! Mungkin banyak juga materi pelajaran pesantren yang justru tidak kami kenal sama sekali…” kali ini Vinny terpaksa bersuara. Ia merasa emosi sang sobat sudah saatnya mulai dikendalikan.

Disa memandangnya terkejut. Vinny membalasnya dengan senyuman was-was.

“Mbak Disa ini kabarnya sangat pintar ya? Eh, sekarang terbukti.” Ilham berusaha mencairkan suasana.

“Benar tuh, Mas! Disa ini juara umum sejak zaman SD dulu sampai sekarang lho!” Vinny menguatkan.

“Ah, biasa aja kok!” yang dipuji ketus.

“Hmm, kalau sahabatnya sendiri yang bilang, saya justru tambah percaya”, Si jejaka menimpali seraya tersenyum manis ke arahnya.

Disa buru-buru memalingkan muka. Entahlah, dialog-dialog tadi ditambah senyuman tulus dan tatapan sekilas sang mahasantri barusan tiba-tiba membuat jantungnya berdesir-desir halus. Masih terngiang perkataan tetangga sebelumnya, “Mas Ilham itu kepercayaannya Pak Kyai. Orangnya kan cerdas dan alim, jadi banyak santriwati yang naksir padanya. Pak Kyai sendiri sudah beberapa kali menawarkan calon istri padanya. Tapi gak ada yang diterima sama Mas Ilham. Eh, ternyata cinta Mas Ilham cuma buat Mbak Disa seorang…”. Tanpa sadar mahasiswi itu mesem-mesem sendiri.

“Disaaa, senyum ke siapa sih…? Mas Ilhamnya kan disini…!” Vinny tak tahan untuk tidak menggodanya, dan itu benar-benar membuat Disa tersipu malu.

Disa jadi grogi…

*****

Oktober 27, 2012

ibuku tangguh

0 komentar
 eramuslim - Pernah suatu sore, ibu pulang dengan tapak kaki berdarah. "Tertusuk kerikil," terangnya. Setelah perjalanan panjang yang melelahkan semenjak pagi, wanita yang kasihnya tak terbilang nilai itu mengakhirinya dengan sedikit ringisan,
"Tidak apa, cuma luka kecil kok," tenang ibu.

Padahal, baru dua hari lalu beberapa orang warga yang tak satu pun saya mengenalnya membopong ibu dalam keadaan pingsan. Ternyata ibu kelelahan hingga tak kuat lagi berjalan. Bermil-mil ia mengetuk pintu ke pintu rumah orang yang tak dikenalnya untuk menawarkan jasa mengajar baca tulis Al-Qur'an bagi penghuni rumah. Tak jarang suara hampa yang ia dapatkan dari dalam rumah, sesekali penolakan, dan tak terbilang kata, "Maaf, kami belum butuh guru mengaji." Tapi ibu tetap tersenyum.

Sejak perceraiannya dengan ayah, ibu yang menanggung semua nafkah lima anaknya. Pagi ia berjualan nasi dan ketupat bermodalkan sedikit keterampilan memasak yang ia peroleh selagi muda dulu. Menjelang siang ia memulai menyusuri jalan yang hingga kini takkan pernah bisa kuukur, menawarkan jasa dan keahliannya mengajar baca tulis Al-Qur'an. Selepas isya' kami ke lima anaknya menunggu setia kepulangan ibu di pinggir jalan.

Sempat saya bertanya dalam hati, lelahkah ia?

Biasanya kami berebut untuk menjadi tukang pijat ibu, saya di kepala, abang di kaki, sementara kedua tangan ibu dikeroyok adik-adik. Kecuali si cantik bungsu, usianya kurang dari empat tahun kala itu. Bukannya ibu yang tertidur pulas, justru kami yang terlelap satu persatu terbuai indahnya nasihat lewat tutur cerita ibu.

Tengah malam saya terbangun, melihat ibu masih duduk bersimpuh di sajadahnya. Ia menangis sambil menyebut nama kami satu persatu agar Allah membimbing dan menjaga kami hingga menjadi orang yang senantiasa membuat ibu tersenyum bangga pernah melahirkannya. Saya ternganga sekejap untuk kemudian terlelap kembali hingga menjelang subuh ia membangunkan kami.

Selepas subuh, wanita yang ketulusannya hanya mampu dibalas oleh Allah itu meneruskan pekerjaanya menyiapkan dagangan. Sementara kami membantu ala kadarnya. Tak pernah saya melihat ia mengeluh meski teramat sudah peluhnya.

Satu tanyaku kala itu, kapan ia terlelap?

Pagi hari di sela kesibukannya melayani pembeli, ia juga harus menyiapkan pakaian anak-anak untuk ke sekolah. Sabar ia meladeni teriakan silih berganti dari kami yang minta pelayanannya. Wanita yang namanya diagungkan Rasulullah itu, tak pernah marah atau kesal. Sebaliknya dengan segenap cinta yang dimilikinya ia berujar, "Abang sudah besar, bantu ibu ya."
Ingin sekali kutanyakan, pernahkah ia berkesah?

***
Kini, setelah berpuluh tahun ia lakukan semua itu, setelah jutaan mil jalan yang ia susuri, bertampuk-tampuk doa dan selaut tangisnya di hadapan Allah, saya tak pernah, dan takkan pernah bertanya apakah ia begitu lelah. Karena saya teramat tahu, Ibuku tangguh!.

Bayu Gautama

pengakuan !!!!

0 komentar
aku mencintai mu, bukan karena aku sudah mengenal mu dengan baik..
aku mencintaimu, bukan karena ketampanan wajah mu..
aku mencintaimu, bkn karna kekayaan yang kamu miliki..
aku mencintaimu, karena kebagusan kata-kata mu..
aku mencintaimu, karena segala keindahan ideologi mu..
aku mencintaimu, karena kamu mengerti caranya mencintai Allah..

meski sesungguhnya tidak pernah sekali pun kita saling berbincang dan bertatap muka secara khusus.
tapi entah kenapa setiap kali membaca semua kata-kata yang kamu tuliskan aku merasa seolah-olah itulah diri mu sebenarnya.
tiada sedikit pun keraguan dalam hati ku untuk memulai menyukai mu,
tanpa sadar ku aku membawa mu dalam setiap sujud ku Pada nya,
aku berdoa dan berharap semoga ALLah mempertemukan kita kelak dengan cara nya yang indah,
amiennnn..........

mengingat mu saja sudah membuat jantung ku
berdetak luar biasa kencang, tapi rasa ini juga sangat aneh wajah nya sering terbayang di mata ku, dan setiap kali hal itu terjadi aku pasti pasti tersenyum bahagia mengingat nya,,
yahhhh,,
aku seperti kerasukan, aku mulai gila, sesaat akal sehat ku hilang karena nya,,,

ada rasa takut memiliki rasa ini terhadap seseorang, membuat aku bertanya, benarkah rasa seperti ini berasal dari Allah,,?
dosa kah semua perasaan ini ??
marah atau cemburu kah Rabb ku pada ku karena hal ini ?

Oktober 16, 2012

air mata mutiara

0 komentar
Pada suatu hari seekoranak kerang di dasar laut mengadu dan mengeluh pada ibunya sebab sebutir pasir tajam memasuki tubuhnya yang merah dan lembek.
"Anakku," kata sang ibu sambil bercucuran air mata, "Tuhan tidak memberikan pada kita, bangsa kerang, sebuah tangan pun, sehingga Ibu tak bisa menolongmu."
Si ibu terdiam, sejenak, "Aku tahu bahwa itu sakit anakku. Tetapi terimalah itu sebagai takdir alam. Kuatkan hatimu. Jangan terlalu lincah lagi. Kerahkan semangatmu melawan rasa ngilu dan nyeri yang menggigit. Balutlah pasir itu dengan getah perutmu. Hanya itu yang bisa kau perbuat", kata ibunya dengan sendu dan lembut.

Anak kerang pun melakukan nasihat bundanya. Ada hasilnya, tetapi rasa sakit terkadang masih terasa.
Kadang di tengah kesakitannya, ia meragukan nasihat ibunya.
Dengan air mata ia bertahan, bertahun-tahun lamanya.
Tetapi tanpa disadarinya sebutir mutiara mulai terbentuk dalam dagingnya.
Makin lama makin halus. Rasa sakit pun makin berkurang. Dan semakin lama mutiaranya semakin besar.
Rasa sakit menjadi terasa lebih wajar.

Akhirnya sesudah sekian tahun, sebutir mutiara besar, utuh mengkilap, dan berharga mahal pun terbentuk dengan sempurna.
Penderitaannya berubah menjadi mutiara; air matanya berubah menjadi sangat berharga.
Dirinya kini, sebagai hasil derita bertahun-tahun, lebih berharga daripada sejuta kerang lain
yang cuma disantap orang sebagai kerang rebus di pinggir jalan.

**********
Cerita di atas adalah sebuah paradigma yg menjelaskan bahwa penderitaan adalah lorong transendental untuk menjadikan "kerang biasa" menjadi "kerang luar biasa".
Karena itu dapat dipertegas bahwa kekecewaan dan penderitaan dapat mengubah "orang biasa" menjadi "orang luar biasa".

Banyak orang yang mundur saat berada di lorong transendental tersebut, karena mereka tidak tahan dengan cobaan yang mereka alami.
Ada dua pilihan sebenarnya yang bisa mereka masuki: menjadi `kerang biasa' yang disantap orang atau menjadi `kerang yang menghasilkan mutiara'.
Sayangnya, lebih banyak orang yang mengambil pilihan pertama, sehingga tidak mengherankan bila jumlah orang yang sukses lebih sedikit dari orang yang `biasa-biasa saja'.

Mungkin saat ini kita sedang mengalami penolakan, kekecewaan, patah hati, atau terluka karena orang-orang di sekitar kamu.
Cobalah utk tetap tersenyum dan tetap berjalan di lorong tersebut, dan sambil katakan di dalam hatimu..
"Airmataku diperhitungkan Tuhan.. dan penderitaanku ini akan mengubah diriku menjadi mutiara."

Semoga........

older post

Total Tayangan Halaman

Diberdayakan oleh Blogger.

Entri Populer

about me !!!

Foto saya
I was not pretty, I'm not smart, not rich, not talented, but who obviously I was not bad. and I am not a bad person especially cruel.

follow me on facebook

clock