Januari 19, 2013

mahasiswi vs mahasantri

0 komentar
Mahasiswi vs Mahasantri

By : Nela Azizah
Photo: Mahasiswi vs Mahasantri

By : Nela Azizah 



Disa gak habis fikir kenapa papan takdir harus mencatat nama Ilham Fathoni sebagai lelaki pertama yang berani datang mengkhitbah dirinya. Seandainya bukan dia, tapi seorang ikhwan kampus yang cerdas…, Seandainya gak terlalu cerdas juga, yang penting dia orang kuliahan yang berakhlak…, Seandainya...seandainya…percuma saja! Kalau sudah terjadi, ternyata buang-buang waktu saja memikirkan seandainya. Uuugh…, benci…benci…benci…! Rasanya jadi geregetan pengen nangis!

 “Mau tahu apa komentar Ayah?” Curhatnya pada Vinny. Sahabatnya itu mengiyakan dengan isyarat mata.

 “Konsekuensi sebagai seorang muslim, kita harus berusaha menjalankan ajaran Rasulullah SAW dengan ikhlas. Kalau beliau mengatakan : Jika datang kepadamu seorang lelaki yang kamu ridhai agama dan amanahnya, maka nikahkanlah ia. Bila tidak, akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar (H.R. Tirmidzi dan Ahmad); Maka Ayah pun mesti menaatinya. Jelas aja beliau gak berani nolak dia mentah-mentah, biarpun santri itu sama sekali bukan tipeku!”

 “Semudah itu?”

 “Ya nggak lah! Survei dan istikhoroh dulu. Katanya sih harusnya aku juga istikhoroh, tapi mana mau? Keselnya, sejauh ini aku gak melihat kemungkinan beliau bakal mengubah pendiriannya. Padahal minggu depan keluarga Ilham akan datang mendengar keputusan kami. Please…, tolong dong Vin, kasih aku saran gimana caranya menghadapi masalah serumit ini?”, Disa hampir menangis.

 “Kamu sendiri udah menyampaikan keberatan pada Ayahmu?”

 “Pasti lah Vin, tapi aku gak bisa bicara apa-apa setelah beliau bilang bahwa kekhawatiranku hanyalah sangkaan belaka, sedangkan jawaban Allah pasti benarnya!”

 Vinny manggut-manggut. “Oke…oke…, tenang dulu dong…! Memangnya apa sih kekurangan Ilham yang benar-benar gak bisa kamu terima?”

 Disa menatap lekat mata sang sobat, memohon pengertiannya. “Pendidikannya! Dia cuma lulusan SMP, Vin! Masa harus jadi suami aku sih? Gimana jadinya rumah tanggaku nanti?” sekarang ia benar-benar terisak.

 Vinny belum bisa ngomentar. Oh…, begitu rupanya! Pantes aja si bintang kampus yang sering berjanji hanya mau nikah dengan pria yang lebih pintar dari dirinya itu merasa keberatan! Hhh…, sungguh kasihan! batinnya iba. 

 “Tadi kamu bilang dia santri kan? Berarti belajarnya gak sampai SMP doang lho, Dis!” ia berusaha menghibur.

 “Tetap aja pola fikirnya gak bakalan imbang sama mahasiswi kayak kita, mana bisa aku menghormatinya sebagai suamiku nanti?”

 “Jangan sombong lho, Dis! Siapa tahu kan?”  

 “Justru aku tahu itu, Vin! Dia tuh mondoknya di pesantren salafiyah, pesantren tradisional yang kajian pelajarannya kitab-kitab kuning klasik. Kalau di pesantren modern kayak Gontor sih gak masalah!”

 Sahabatnya mengernyitkan dahi. “Kok tahu dunia pesantren sih?”

 “Tetanggaku yang bilang. Dia satu pesantren sama Ilham. Rasanya aku sudah  bisa menebak seberapa luas wawasan mereka berdua!”, Disa enteng.

 Vinny terdiam… “Ngomong-ngomong, berapa lama sih dia mesantrennya?”, tanyanya kemudian.

 “Siapa?”

 “Ilham”

 “Kata tetanggaku sih sepuluh tahun!”

 “Sepuluh tahun…? Wow…!”, sang sobat salut. “Tetanggamu sendiri?, sepuluh tahun juga?”

 “Boro-boro, paling juga baru dua tahun!”

 “Kalau begitu, beda jauh sama Ilham dong Dis! Masa iya orang yang udah mondok sepuluh tahun disejajarkan sama yang baru dua tahun sih? yang benar aja!”, Vinny cepat menukas.

 “Coba dong renungkan Dis, mondok sepuluh tahun…ingat, sepuluh tahun! Ilham bukan santri lagi, tapi udah mahasantri. Kalau sekolah selama itu, sekarang dia udah jadi Master, lebih tinggi daripada kita yang jadi Sarjana pun belum!”, lanjutnya bersemangat.

 Disa mengangkat kedua alisnya…mencerna kata-kata Vinny. “Mahasantri…? Boleh juga tuh! Aku jadi ingin mengetes seberapa layak dia menjadi pendamping hidupku!” ujarnya tak terduga. Setelah itu ia terlihat menulis pesan via ponselnya.
 
 Vinny geleng-geleng kepala. Disa…Disa! Begitulah kebiasaannya kalau lagi punya masalah. Mulanya curhat, lalu minta pendapat, tapi ujung-ujungnya dia sendiri yang suka menemukan solusinya. Hmm…, apa begitu ciri khas orang yang cerdas? Pikirnya lucu.

 “Oke…, besok gak ada kuliah kan? Tolong temani aku nemuin dia ya Vin, please…! Masa’ mau ketemuan berdua aja kan nanti yang ketiga setan?”   
    
           Vinny mengangguk sambil senyam-senyum tanda mengerti. 

Malam ini Disa gak bisa lekas tidur. Ia terus berfikir mencari soal-soal yang mesti diajukannya pada Ilham besok, yang sekiranya dapat membuat mahasantri itu tak berkutik lalu membatalkan niatnya menikahi dirinya. 

 Satu…dua…tiga jam lebih ia habiskan waktunya untuk begadang. Belasan soal dari berbagai bidang studi akhirnya berhasil ia himpun. Yes…, sekarang gadis itu bisa terlelap dengan tenang!

****
 Saat yang dijanjikan pun tiba. Ilham, Disa dan Vinny kini tengah  duduk berhadap-hadapan di tempat yang ditunjuk Disa kemarin.  

 “Ngomong-ngomong, kenapa mas berani melamarku?” setelah sedikit basa-basi mahasiswi itu mengawali perbincangan pentingnya dengan nada cukup kecut. Sang sobat menegur sambil menyikutnya. Disa membalas dengan gerakan telunjuk, mengingatkan posisi Vinny sesuai kesepakatan sebelumnya : menjadi saksi bisu! 

“Karena dik Disa wanita, dan belum ada yang memiliki”, jawab Ilham sangat tepat, namun sungguh mengecewakan si penguji. Betapa tidak, ia berharap lelaki itu meminta maaf karena berani mengajukan pinangan pada wanita yang berpendidikan lebih tinggi darinya. Huuh, dasar gak tahu malu! Dadanya bergemuruh. 

“Terus, aku kan masih kuliah. Mas gimana? Apa udah lulus?”, ia sengaja menyinggung masalah tersebut.

“Saya tidak kuliah, tapi nyantri!” Ilham percaya diri. Benar-benar mengesankan sekaligus mengesalkan sang mahasiswi.

“Kenapa nyantri? Kuliah kan lebih menjanjikan?” Ia kepalang angkuh, peduli amat pertanyaan-pertanyaannya sekarang malah keluar jauh dari deretan soal yang semalam ia persiapkan.

“Kewajiban kita kan menuntut ilmunya. Kuliah atau nyantri hanyalah pilihan. Adapun tentang masa depan, kewajiban kita hanya berusaha untuk meraih  semampunya. Selebihnya urusan Tuhan.”

Disa hampir kelabakan, namun… “Ya…tentu saja itu benar, tapi pesantren salafiyah kan gak formal. Bertahun-tahun belajar disana gak akan dapat ijazah formal buat ngelanjutin ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi ataupun mencari kerja. Sayang sekali bukan?”

“Itulah mungkin masalah yang belum bisa kami tangani. Meskipun bagi kami menuntut ilmu itu sebenarnya harus dilakukan lillahi ta`ala, tapi karena peraturan tertentu di negara kita seperti yang barusan kamu sampaikan, tampaknya sangat bijak bila pendidikan pesantren salafiyah pun diformalkan seperti sekolahan. Sejauh ini pemerintah baru menyediakan program kesetaraan pendidikan melalui program paket B atau C yang bisa diselenggarakan di pesantren. Itu juga sudah Alhamdulillah, tapi artinya masih belum menempatkan pendidikan pesantren murni di posisi yang setingkat dengan sekolahan. Oh ya, sebagai mahasiswi, barangkali mbak bisa memberikan saran?” sang mahasantri berujar apa adanya. 

Disa tercengang, ia harus melawan perkataannya sendiri! “Apa…? Menyetarakan pendidikan pesantren murni dengan sekolahan agar sama-sama formal? Ya gak mungkin lah, bidang kajiannya juga beda jauh!” sergahnya tanpa fikir panjang.

“Hm.., menurutmu begitu ya? Padahal tampaknya itu bukan masalah. Bukankah sekolah juga mengenal spesialisasi pendidikan? Apa memang tak bisa kalau misalnya pendidikan pesantren salafiyah disamakan dengan jurusan PAI di sekolahan mungkin?” rupanya pemuda itu bukan santri sembarangan.

Lawan bicaranya melongo. “Kalau begitu, fikir aja sendiri! Kenapa malah nanya aku?” Disa jadi sewot. Tengsin berat, guys! Masa iya jawaban mahasiswi jempolan gak mutu sih, diprotes santri lagi, atau…mahasantri? Huh, apapun sebutannya, muka Disa jadi makin merah! Hihi, kalau hati panas, kerja otak memang suka terganggu!

“Maaf, saya hanya bermaksud untuk bertukar fikiran!” Ilham merasa bersalah juga. Disa pura-pura gak mendengarnya. Vinny menahan tawa sekuatnya.  

Jeda. Tanpa dikomando, ketiga orang itu kini kompak menikmati menu yang telah dipesannya masing-masing.

“Ehem!” Disa berdehem. “Tadi kamu bilang mau bertukar fikiran kan? Bisa kita lanjutkan?” ujarnya tak berapa lama. Ternyata saat makan pun, otaknya terus bekerja. Sepertinya ia pun tak rela kalah debat. 

“Boleh!” sang pemuda tenang.

“Masih tentang perbandingan antara pesantren dan sekolahan, khususnya perguruan tinggi. Jujur saja, menurutku lulusan perguruan tinggi lebih layak diunggulkan daripada keluaran pesantren. Mereka lebih banyak berkiprah di berbagai lapangan kehidupan bermasyaraakat daripada para santri. Buktinya, mereka bisa jadi ekonom, politikus, hakim, sejarawan, sastrawan, filosof, dokter, insinyur dan sebagainya. Sedangkan alumni pesantren paling hanya bisa menerjuni satu profesi, jadi ustadz atau kyai! Peranan yang sangat minim bukan?” Si gadis terus berusaha memojokkannya, dan sekarang ia yakin akan berhasil.

“Tepatnya ustadz atau kyai yang serba bisa! Sungguh, hampir semua materi yang berkaitan dengan setiap profesi yang mbak sebutkan pun dipelajari di pesantren. Di bidang ekonomi ada kajian mu`amalah, bidang politik dan kekuasaan ada siyasah waddaulah, bidang hukum pidana ada jinayat, bidang sejarah ada tarikh, bidang sastra ada balaghah, bidang filsafat ada manthiq. Lebih lengkapnya, cobalah sesekali mbak berkunjung ke pesantren!” Ilham mengklarifikasi dengan tutur katanya yang elegan. 

Disa ternganga. “Kalau bidang kedokteran, kedirgantaraan, kelautan, geologi, konstruksi, kimia, fisika…apa iya kalian juga mengkajinya?” kejarnya sinis.

“Kalau materi-materi itu kami tak mempelajarinya!” mahasantri itu merendah, membuat rivalnya segera memamerkan senyum kemenangan. Disa kini  puas.

 “Sama saja, ilmu-ilmu yang dipelajari di sekolahan pun terbatas lho! Mungkin banyak juga materi pelajaran pesantren yang justru tidak kami kenal sama sekali…” kali ini Vinny terpaksa bersuara. Ia merasa emosi sang sobat sudah  saatnya mulai dikendalikan. 

Disa memandangnya terkejut. Vinny membalasnya dengan senyuman was-was. 

“Mbak Disa ini kabarnya sangat pintar ya? Eh, sekarang terbukti.” Ilham  berusaha mencairkan suasana.

 “Benar tuh, Mas! Disa ini juara umum sejak zaman SD dulu sampai sekarang lho!” Vinny menguatkan. 

 “Ah, biasa aja kok!” yang dipuji ketus. 

“Hmm, kalau sahabatnya sendiri yang bilang, saya justru tambah percaya”, Si jejaka menimpali seraya tersenyum manis ke arahnya. 

Disa buru-buru memalingkan muka. Entahlah, dialog-dialog tadi ditambah  senyuman tulus dan tatapan sekilas sang mahasantri barusan tiba-tiba membuat jantungnya berdesir-desir halus. Masih terngiang perkataan tetangga sebelumnya, “Mas Ilham itu kepercayaannya Pak Kyai. Orangnya kan cerdas dan alim, jadi banyak santriwati yang naksir padanya. Pak Kyai sendiri sudah beberapa kali menawarkan calon istri padanya. Tapi gak ada yang diterima sama Mas Ilham. Eh, ternyata cinta Mas Ilham cuma buat Mbak Disa seorang…”. Tanpa sadar mahasiswi itu mesem-mesem sendiri.

“Disaaa, senyum ke siapa sih…? Mas Ilhamnya kan disini…!” Vinny tak tahan untuk tidak  menggodanya, dan itu benar-benar membuat Disa tersipu malu. 

Disa jadi grogi…

*****




*** Cerpen ini karya salah satu sahabat di sini lhoh yang turut berpartisipasi berkirim cerita, Namanya Nela Azizah
Mau berkenalan langsung dengan penulisnya? Sapa FBnya https://www.facebook.com/nela.azizah



*** Mari lakukan tindakan kongkrit untuk membantu saudara-saudara kita di Palestina.

#PrayForPalestina salurkan infak terbaik anda ke #FLPPeduliUmat BSM 7033101858 an. FORUM LINGKAR PENA. Jangan lupa konfirmasi sms 081572014615 (hikaru) untuk pencatatan donatur

NB: Buat yang berminat membuat foto pribadi menjadi kartun seperti ini silakan menghubungi
http://www.facebook.com/kawanimut2 melalui inbox untuk detail2 prosedur pemesanannya. Dan setiap pemesan akan dibuatkan kartun dirinya dalam beberapa format, model dan kreasi sesuai keinginan seperti pose wedding, pose cute dll.
Dan tentunya tidak gratis lho yaa? Kalau gratis desainernya pasti kewalahan karena permintaan pasti banyak sekali)


NB: Bagi yang ingin share atau tag dipersilakan saja. Yang melalui komputer tinggal klik tandai/tag gambar lalu klik siapa saja yang akan ditag. Dan bagi yang melalui hape dan kesulitan mengetag diri-sendiri bisa minta bantuan temannya buat ngetag dan bisa mengetag teman2 yang lain juga. Caranya ajak teman anda untuk LIKE page ini dulu kemudian minta kepada teman anda untuk mengetag-kan dan anda juga bisa mengetag dia juga. Dan mohoooonn sebagai imbal balik tolong jangan hanya mengetag diri sendiri namun juga bantu teman-temannya untuk mengetagkan. Jika gagal berarti tagnya sudah penuh dan coba pindah ke gambar yang lain yang masih kosong. Dan buat yang pengen karyanya diterbitin di page ini juga boleh, silakan saja kirimkan ke inbox redaksi page ini untuk kemudian diseleksi. Atau yang punya file novel/cerpen karya penulis favoritnya juga bisa dikirim buat dishare
Selamat mencoba ^_^





LIKE http://www.facebook.com/IloveOriginalKawanimut

FOLLOW https://twitter.com/#!/Kawanimut

Download gambar-gambar cantik Kawanimut di blog resmi http://kawanimut.multiply.com/

Atau dapatkan gambar ukuran aslinya di website http://www.desainkawanimut.com/

 
Disa gak habis fikir kenapa papan takdir harus mencatat nama Ilham Fathoni sebagai lelaki pertama yang berani datang mengkhitbah dirinya. Seandainya bukan dia, tapi seorang ikhwan kampus yang cerdas…, Seandainya gak terlalu cerdas juga, yang penting dia orang kuliahan yang berakhlak…, Seandainya...seandainya…percuma saja! Kalau sudah terjadi, ternyata buang-buang waktu saja memikirkan seandainya. Uuugh…, benci…benci…benci…! Rasanya jadi geregetan pengen nangis!

“Mau tahu apa komentar Ayah?” Curhatnya pada Vinny. Sahabatnya itu mengiyakan dengan isyarat mata.

“Konsekuensi sebagai seorang muslim, kita harus berusaha menjalankan ajaran Rasulullah SAW dengan ikhlas. Kalau beliau mengatakan : Jika datang kepadamu seorang lelaki yang kamu ridhai agama dan amanahnya, maka nikahkanlah ia. Bila tidak, akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar (H.R. Tirmidzi dan Ahmad); Maka Ayah pun mesti menaatinya. Jelas aja beliau gak berani nolak dia mentah-mentah, biarpun santri itu sama sekali bukan tipeku!”

“Semudah itu?”

“Ya nggak lah! Survei dan istikhoroh dulu. Katanya sih harusnya aku juga istikhoroh, tapi mana mau? Keselnya, sejauh ini aku gak melihat kemungkinan beliau bakal mengubah pendiriannya. Padahal minggu depan keluarga Ilham akan datang mendengar keputusan kami. Please…, tolong dong Vin, kasih aku saran gimana caranya menghadapi masalah serumit ini?”, Disa hampir menangis.

“Kamu sendiri udah menyampaikan keberatan pada Ayahmu?”

“Pasti lah Vin, tapi aku gak bisa bicara apa-apa setelah beliau bilang bahwa kekhawatiranku hanyalah sangkaan belaka, sedangkan jawaban Allah pasti benarnya!”

Vinny manggut-manggut. “Oke…oke…, tenang dulu dong…! Memangnya apa sih kekurangan Ilham yang benar-benar gak bisa kamu terima?”

Disa menatap lekat mata sang sobat, memohon pengertiannya. “Pendidikannya! Dia cuma lulusan SMP, Vin! Masa harus jadi suami aku sih? Gimana jadinya rumah tanggaku nanti?” sekarang ia benar-benar terisak.

Vinny belum bisa ngomentar. Oh…, begitu rupanya! Pantes aja si bintang kampus yang sering berjanji hanya mau nikah dengan pria yang lebih pintar dari dirinya itu merasa keberatan! Hhh…, sungguh kasihan! batinnya iba.

“Tadi kamu bilang dia santri kan? Berarti belajarnya gak sampai SMP doang lho, Dis!” ia berusaha menghibur.

“Tetap aja pola fikirnya gak bakalan imbang sama mahasiswi kayak kita, mana bisa aku menghormatinya sebagai suamiku nanti?”

“Jangan sombong lho, Dis! Siapa tahu kan?”

“Justru aku tahu itu, Vin! Dia tuh mondoknya di pesantren salafiyah, pesantren tradisional yang kajian pelajarannya kitab-kitab kuning klasik. Kalau di pesantren modern kayak Gontor sih gak masalah!”

Sahabatnya mengernyitkan dahi. “Kok tahu dunia pesantren sih?”

“Tetanggaku yang bilang. Dia satu pesantren sama Ilham. Rasanya aku sudah bisa menebak seberapa luas wawasan mereka berdua!”, Disa enteng.

Vinny terdiam… “Ngomong-ngomong, berapa lama sih dia mesantrennya?”, tanyanya kemudian.

“Siapa?”

“Ilham”

“Kata tetanggaku sih sepuluh tahun!”

“Sepuluh tahun…? Wow…!”, sang sobat salut. “Tetanggamu sendiri?, sepuluh tahun juga?”

“Boro-boro, paling juga baru dua tahun!”

“Kalau begitu, beda jauh sama Ilham dong Dis! Masa iya orang yang udah mondok sepuluh tahun disejajarkan sama yang baru dua tahun sih? yang benar aja!”, Vinny cepat menukas.

“Coba dong renungkan Dis, mondok sepuluh tahun…ingat, sepuluh tahun! Ilham bukan santri lagi, tapi udah mahasantri. Kalau sekolah selama itu, sekarang dia udah jadi Master, lebih tinggi daripada kita yang jadi Sarjana pun belum!”, lanjutnya bersemangat.

Disa mengangkat kedua alisnya…mencerna kata-kata Vinny. “Mahasantri…? Boleh juga tuh! Aku jadi ingin mengetes seberapa layak dia menjadi pendamping hidupku!” ujarnya tak terduga. Setelah itu ia terlihat menulis pesan via ponselnya.

Vinny geleng-geleng kepala. Disa…Disa! Begitulah kebiasaannya kalau lagi punya masalah. Mulanya curhat, lalu minta pendapat, tapi ujung-ujungnya dia sendiri yang suka menemukan solusinya. Hmm…, apa begitu ciri khas orang yang cerdas? Pikirnya lucu.

“Oke…, besok gak ada kuliah kan? Tolong temani aku nemuin dia ya Vin, please…! Masa’ mau ketemuan berdua aja kan nanti yang ketiga setan?”

Vinny mengangguk sambil senyam-senyum tanda mengerti.

Malam ini Disa gak bisa lekas tidur. Ia terus berfikir mencari soal-soal yang mesti diajukannya pada Ilham besok, yang sekiranya dapat membuat mahasantri itu tak berkutik lalu membatalkan niatnya menikahi dirinya.

Satu…dua…tiga jam lebih ia habiskan waktunya untuk begadang. Belasan soal dari berbagai bidang studi akhirnya berhasil ia himpun. Yes…, sekarang gadis itu bisa terlelap dengan tenang!

****
Saat yang dijanjikan pun tiba. Ilham, Disa dan Vinny kini tengah duduk berhadap-hadapan di tempat yang ditunjuk Disa kemarin.

“Ngomong-ngomong, kenapa mas berani melamarku?” setelah sedikit basa-basi mahasiswi itu mengawali perbincangan pentingnya dengan nada cukup kecut. Sang sobat menegur sambil menyikutnya. Disa membalas dengan gerakan telunjuk, mengingatkan posisi Vinny sesuai kesepakatan sebelumnya : menjadi saksi bisu!

“Karena dik Disa wanita, dan belum ada yang memiliki”, jawab Ilham sangat tepat, namun sungguh mengecewakan si penguji. Betapa tidak, ia berharap lelaki itu meminta maaf karena berani mengajukan pinangan pada wanita yang berpendidikan lebih tinggi darinya. Huuh, dasar gak tahu malu! Dadanya bergemuruh.

“Terus, aku kan masih kuliah. Mas gimana? Apa udah lulus?”, ia sengaja menyinggung masalah tersebut.

“Saya tidak kuliah, tapi nyantri!” Ilham percaya diri. Benar-benar mengesankan sekaligus mengesalkan sang mahasiswi.

“Kenapa nyantri? Kuliah kan lebih menjanjikan?” Ia kepalang angkuh, peduli amat pertanyaan-pertanyaannya sekarang malah keluar jauh dari deretan soal yang semalam ia persiapkan.

“Kewajiban kita kan menuntut ilmunya. Kuliah atau nyantri hanyalah pilihan. Adapun tentang masa depan, kewajiban kita hanya berusaha untuk meraih semampunya. Selebihnya urusan Tuhan.”

Disa hampir kelabakan, namun… “Ya…tentu saja itu benar, tapi pesantren salafiyah kan gak formal. Bertahun-tahun belajar disana gak akan dapat ijazah formal buat ngelanjutin ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi ataupun mencari kerja. Sayang sekali bukan?”

“Itulah mungkin masalah yang belum bisa kami tangani. Meskipun bagi kami menuntut ilmu itu sebenarnya harus dilakukan lillahi ta`ala, tapi karena peraturan tertentu di negara kita seperti yang barusan kamu sampaikan, tampaknya sangat bijak bila pendidikan pesantren salafiyah pun diformalkan seperti sekolahan. Sejauh ini pemerintah baru menyediakan program kesetaraan pendidikan melalui program paket B atau C yang bisa diselenggarakan di pesantren. Itu juga sudah Alhamdulillah, tapi artinya masih belum menempatkan pendidikan pesantren murni di posisi yang setingkat dengan sekolahan. Oh ya, sebagai mahasiswi, barangkali mbak bisa memberikan saran?” sang mahasantri berujar apa adanya.

Disa tercengang, ia harus melawan perkataannya sendiri! “Apa…? Menyetarakan pendidikan pesantren murni dengan sekolahan agar sama-sama formal? Ya gak mungkin lah, bidang kajiannya juga beda jauh!” sergahnya tanpa fikir panjang.

“Hm.., menurutmu begitu ya? Padahal tampaknya itu bukan masalah. Bukankah sekolah juga mengenal spesialisasi pendidikan? Apa memang tak bisa kalau misalnya pendidikan pesantren salafiyah disamakan dengan jurusan PAI di sekolahan mungkin?” rupanya pemuda itu bukan santri sembarangan.

Lawan bicaranya melongo. “Kalau begitu, fikir aja sendiri! Kenapa malah nanya aku?” Disa jadi sewot. Tengsin berat, guys! Masa iya jawaban mahasiswi jempolan gak mutu sih, diprotes santri lagi, atau…mahasantri? Huh, apapun sebutannya, muka Disa jadi makin merah! Hihi, kalau hati panas, kerja otak memang suka terganggu!

“Maaf, saya hanya bermaksud untuk bertukar fikiran!” Ilham merasa bersalah juga. Disa pura-pura gak mendengarnya. Vinny menahan tawa sekuatnya.

Jeda. Tanpa dikomando, ketiga orang itu kini kompak menikmati menu yang telah dipesannya masing-masing.

“Ehem!” Disa berdehem. “Tadi kamu bilang mau bertukar fikiran kan? Bisa kita lanjutkan?” ujarnya tak berapa lama. Ternyata saat makan pun, otaknya terus bekerja. Sepertinya ia pun tak rela kalah debat.

“Boleh!” sang pemuda tenang.

“Masih tentang perbandingan antara pesantren dan sekolahan, khususnya perguruan tinggi. Jujur saja, menurutku lulusan perguruan tinggi lebih layak diunggulkan daripada keluaran pesantren. Mereka lebih banyak berkiprah di berbagai lapangan kehidupan bermasyaraakat daripada para santri. Buktinya, mereka bisa jadi ekonom, politikus, hakim, sejarawan, sastrawan, filosof, dokter, insinyur dan sebagainya. Sedangkan alumni pesantren paling hanya bisa menerjuni satu profesi, jadi ustadz atau kyai! Peranan yang sangat minim bukan?” Si gadis terus berusaha memojokkannya, dan sekarang ia yakin akan berhasil.

“Tepatnya ustadz atau kyai yang serba bisa! Sungguh, hampir semua materi yang berkaitan dengan setiap profesi yang mbak sebutkan pun dipelajari di pesantren. Di bidang ekonomi ada kajian mu`amalah, bidang politik dan kekuasaan ada siyasah waddaulah, bidang hukum pidana ada jinayat, bidang sejarah ada tarikh, bidang sastra ada balaghah, bidang filsafat ada manthiq. Lebih lengkapnya, cobalah sesekali mbak berkunjung ke pesantren!” Ilham mengklarifikasi dengan tutur katanya yang elegan.

Disa ternganga. “Kalau bidang kedokteran, kedirgantaraan, kelautan, geologi, konstruksi, kimia, fisika…apa iya kalian juga mengkajinya?” kejarnya sinis.

“Kalau materi-materi itu kami tak mempelajarinya!” mahasantri itu merendah, membuat rivalnya segera memamerkan senyum kemenangan. Disa kini puas.

“Sama saja, ilmu-ilmu yang dipelajari di sekolahan pun terbatas lho! Mungkin banyak juga materi pelajaran pesantren yang justru tidak kami kenal sama sekali…” kali ini Vinny terpaksa bersuara. Ia merasa emosi sang sobat sudah saatnya mulai dikendalikan.

Disa memandangnya terkejut. Vinny membalasnya dengan senyuman was-was.

“Mbak Disa ini kabarnya sangat pintar ya? Eh, sekarang terbukti.” Ilham berusaha mencairkan suasana.

“Benar tuh, Mas! Disa ini juara umum sejak zaman SD dulu sampai sekarang lho!” Vinny menguatkan.

“Ah, biasa aja kok!” yang dipuji ketus.

“Hmm, kalau sahabatnya sendiri yang bilang, saya justru tambah percaya”, Si jejaka menimpali seraya tersenyum manis ke arahnya.

Disa buru-buru memalingkan muka. Entahlah, dialog-dialog tadi ditambah senyuman tulus dan tatapan sekilas sang mahasantri barusan tiba-tiba membuat jantungnya berdesir-desir halus. Masih terngiang perkataan tetangga sebelumnya, “Mas Ilham itu kepercayaannya Pak Kyai. Orangnya kan cerdas dan alim, jadi banyak santriwati yang naksir padanya. Pak Kyai sendiri sudah beberapa kali menawarkan calon istri padanya. Tapi gak ada yang diterima sama Mas Ilham. Eh, ternyata cinta Mas Ilham cuma buat Mbak Disa seorang…”. Tanpa sadar mahasiswi itu mesem-mesem sendiri.

“Disaaa, senyum ke siapa sih…? Mas Ilhamnya kan disini…!” Vinny tak tahan untuk tidak menggodanya, dan itu benar-benar membuat Disa tersipu malu.

Disa jadi grogi…

*****

Total Tayangan Halaman

Diberdayakan oleh Blogger.

Entri Populer

about me !!!

Foto saya
I was not pretty, I'm not smart, not rich, not talented, but who obviously I was not bad. and I am not a bad person especially cruel.

follow me on facebook

clock