Oktober 27, 2012

ibuku tangguh

0 komentar
 eramuslim - Pernah suatu sore, ibu pulang dengan tapak kaki berdarah. "Tertusuk kerikil," terangnya. Setelah perjalanan panjang yang melelahkan semenjak pagi, wanita yang kasihnya tak terbilang nilai itu mengakhirinya dengan sedikit ringisan,
"Tidak apa, cuma luka kecil kok," tenang ibu.

Padahal, baru dua hari lalu beberapa orang warga yang tak satu pun saya mengenalnya membopong ibu dalam keadaan pingsan. Ternyata ibu kelelahan hingga tak kuat lagi berjalan. Bermil-mil ia mengetuk pintu ke pintu rumah orang yang tak dikenalnya untuk menawarkan jasa mengajar baca tulis Al-Qur'an bagi penghuni rumah. Tak jarang suara hampa yang ia dapatkan dari dalam rumah, sesekali penolakan, dan tak terbilang kata, "Maaf, kami belum butuh guru mengaji." Tapi ibu tetap tersenyum.

Sejak perceraiannya dengan ayah, ibu yang menanggung semua nafkah lima anaknya. Pagi ia berjualan nasi dan ketupat bermodalkan sedikit keterampilan memasak yang ia peroleh selagi muda dulu. Menjelang siang ia memulai menyusuri jalan yang hingga kini takkan pernah bisa kuukur, menawarkan jasa dan keahliannya mengajar baca tulis Al-Qur'an. Selepas isya' kami ke lima anaknya menunggu setia kepulangan ibu di pinggir jalan.

Sempat saya bertanya dalam hati, lelahkah ia?

Biasanya kami berebut untuk menjadi tukang pijat ibu, saya di kepala, abang di kaki, sementara kedua tangan ibu dikeroyok adik-adik. Kecuali si cantik bungsu, usianya kurang dari empat tahun kala itu. Bukannya ibu yang tertidur pulas, justru kami yang terlelap satu persatu terbuai indahnya nasihat lewat tutur cerita ibu.

Tengah malam saya terbangun, melihat ibu masih duduk bersimpuh di sajadahnya. Ia menangis sambil menyebut nama kami satu persatu agar Allah membimbing dan menjaga kami hingga menjadi orang yang senantiasa membuat ibu tersenyum bangga pernah melahirkannya. Saya ternganga sekejap untuk kemudian terlelap kembali hingga menjelang subuh ia membangunkan kami.

Selepas subuh, wanita yang ketulusannya hanya mampu dibalas oleh Allah itu meneruskan pekerjaanya menyiapkan dagangan. Sementara kami membantu ala kadarnya. Tak pernah saya melihat ia mengeluh meski teramat sudah peluhnya.

Satu tanyaku kala itu, kapan ia terlelap?

Pagi hari di sela kesibukannya melayani pembeli, ia juga harus menyiapkan pakaian anak-anak untuk ke sekolah. Sabar ia meladeni teriakan silih berganti dari kami yang minta pelayanannya. Wanita yang namanya diagungkan Rasulullah itu, tak pernah marah atau kesal. Sebaliknya dengan segenap cinta yang dimilikinya ia berujar, "Abang sudah besar, bantu ibu ya."
Ingin sekali kutanyakan, pernahkah ia berkesah?

***
Kini, setelah berpuluh tahun ia lakukan semua itu, setelah jutaan mil jalan yang ia susuri, bertampuk-tampuk doa dan selaut tangisnya di hadapan Allah, saya tak pernah, dan takkan pernah bertanya apakah ia begitu lelah. Karena saya teramat tahu, Ibuku tangguh!.

Bayu Gautama

pengakuan !!!!

0 komentar
aku mencintai mu, bukan karena aku sudah mengenal mu dengan baik..
aku mencintaimu, bukan karena ketampanan wajah mu..
aku mencintaimu, bkn karna kekayaan yang kamu miliki..
aku mencintaimu, karena kebagusan kata-kata mu..
aku mencintaimu, karena segala keindahan ideologi mu..
aku mencintaimu, karena kamu mengerti caranya mencintai Allah..

meski sesungguhnya tidak pernah sekali pun kita saling berbincang dan bertatap muka secara khusus.
tapi entah kenapa setiap kali membaca semua kata-kata yang kamu tuliskan aku merasa seolah-olah itulah diri mu sebenarnya.
tiada sedikit pun keraguan dalam hati ku untuk memulai menyukai mu,
tanpa sadar ku aku membawa mu dalam setiap sujud ku Pada nya,
aku berdoa dan berharap semoga ALLah mempertemukan kita kelak dengan cara nya yang indah,
amiennnn..........

mengingat mu saja sudah membuat jantung ku
berdetak luar biasa kencang, tapi rasa ini juga sangat aneh wajah nya sering terbayang di mata ku, dan setiap kali hal itu terjadi aku pasti pasti tersenyum bahagia mengingat nya,,
yahhhh,,
aku seperti kerasukan, aku mulai gila, sesaat akal sehat ku hilang karena nya,,,

ada rasa takut memiliki rasa ini terhadap seseorang, membuat aku bertanya, benarkah rasa seperti ini berasal dari Allah,,?
dosa kah semua perasaan ini ??
marah atau cemburu kah Rabb ku pada ku karena hal ini ?

Oktober 16, 2012

air mata mutiara

0 komentar
Pada suatu hari seekoranak kerang di dasar laut mengadu dan mengeluh pada ibunya sebab sebutir pasir tajam memasuki tubuhnya yang merah dan lembek.
"Anakku," kata sang ibu sambil bercucuran air mata, "Tuhan tidak memberikan pada kita, bangsa kerang, sebuah tangan pun, sehingga Ibu tak bisa menolongmu."
Si ibu terdiam, sejenak, "Aku tahu bahwa itu sakit anakku. Tetapi terimalah itu sebagai takdir alam. Kuatkan hatimu. Jangan terlalu lincah lagi. Kerahkan semangatmu melawan rasa ngilu dan nyeri yang menggigit. Balutlah pasir itu dengan getah perutmu. Hanya itu yang bisa kau perbuat", kata ibunya dengan sendu dan lembut.

Anak kerang pun melakukan nasihat bundanya. Ada hasilnya, tetapi rasa sakit terkadang masih terasa.
Kadang di tengah kesakitannya, ia meragukan nasihat ibunya.
Dengan air mata ia bertahan, bertahun-tahun lamanya.
Tetapi tanpa disadarinya sebutir mutiara mulai terbentuk dalam dagingnya.
Makin lama makin halus. Rasa sakit pun makin berkurang. Dan semakin lama mutiaranya semakin besar.
Rasa sakit menjadi terasa lebih wajar.

Akhirnya sesudah sekian tahun, sebutir mutiara besar, utuh mengkilap, dan berharga mahal pun terbentuk dengan sempurna.
Penderitaannya berubah menjadi mutiara; air matanya berubah menjadi sangat berharga.
Dirinya kini, sebagai hasil derita bertahun-tahun, lebih berharga daripada sejuta kerang lain
yang cuma disantap orang sebagai kerang rebus di pinggir jalan.

**********
Cerita di atas adalah sebuah paradigma yg menjelaskan bahwa penderitaan adalah lorong transendental untuk menjadikan "kerang biasa" menjadi "kerang luar biasa".
Karena itu dapat dipertegas bahwa kekecewaan dan penderitaan dapat mengubah "orang biasa" menjadi "orang luar biasa".

Banyak orang yang mundur saat berada di lorong transendental tersebut, karena mereka tidak tahan dengan cobaan yang mereka alami.
Ada dua pilihan sebenarnya yang bisa mereka masuki: menjadi `kerang biasa' yang disantap orang atau menjadi `kerang yang menghasilkan mutiara'.
Sayangnya, lebih banyak orang yang mengambil pilihan pertama, sehingga tidak mengherankan bila jumlah orang yang sukses lebih sedikit dari orang yang `biasa-biasa saja'.

Mungkin saat ini kita sedang mengalami penolakan, kekecewaan, patah hati, atau terluka karena orang-orang di sekitar kamu.
Cobalah utk tetap tersenyum dan tetap berjalan di lorong tersebut, dan sambil katakan di dalam hatimu..
"Airmataku diperhitungkan Tuhan.. dan penderitaanku ini akan mengubah diriku menjadi mutiara."

Semoga........

Oktober 11, 2012

sampaikan pesan ummi pada abi mu

1 komentar


Photo: -=][ SAMPAIKAN PESAN UMMI PADA ABIMU ][=-

♥ Bismillahirrahmaanirrahiim ♥

(SUNGGUH SAYA MENANGIS , TUBUHKU MERINDING KALA BACA INI !!! Kisah serangan udara tentara Israel kepada penduduk Palestine)

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim ...

Ahmed putraku...

Ummi tak tahu kenapa pagi ini kau bersikeras
pergi ke pasar untuk belanja dapur kita
Dimana biasanya Ummi yang melakukannya
katamu,"Biar Ummi di rumah,
Ummi mengaji saja di kamar
Biar Ahmed yang pergi ke pasar
Sekali ini saja."
Kau sangat bersikeras ...Ahmed putraku
Ummi tak ada prasangka padamu
Lelaki kecilku yang dibanggakan Abimu juga aku

Lalu kau pun pergi membawa keping logam tersisa
Untuk ditukar dengan apa saja sekedar hidup hari ini
Ummi lalu kembali larut dalam ayat Quran tercinta kita...
Kemudian mendadak suara langit menggelegar...
Pesawat dari neraka datang lagi...
Diikuti dentuman keras terdengar...
Serasa dekat di telinga Ummi

Lalu tiba-tiba saja Ummi merasa khawatir denganmu...
Lalu bergegas keluar rumah seperti para tetangga
Ummi mencari tahu apa yang telah terjadi
Semua berlari ke arah pasar tempat kau pergi...
Ahmed putraku...

Lalu ummi melihatmu terkapar di jalan...
Diantara raga-raga tak bergerak lainnya
Kau sekarat disana...Tanganmu saja yang bergerak
Ahmed putraku...
Ummi spontan membopongmu mencari pertolongan.
Di mulutmu hanya ada suara...
Suara yang sangat kita kenal...
"Allah! Allah! Allah! Allah!"

Lirih Lemah...
Tapi menembus kuat hingga langit tertinggi
Dan Allah ternyata memberi cinta di pagi ini padamu
Juga pada Ummi lalu kubisikkan kata di telingamu,

"Putraku tersayang, Sampaikan pesan Ummi pada Abimu di syurga bahwa ummi akan lanjutkan perjuangan kalian .
Ummi akan teruskan perlawanan kalian.

Selamat jalan Ahmed anakku terkasih
Selamat jalan syahidku cintaku

Ternyata Allah telah memanggilmu pagi ini
Biarkan Ummi menangis terakhir kalinya
mengantarmu pergi ke taman kehidupan sebenarnya
dimana Abimu menunggu di pintu gerbangNya
Tunggu Ummi ya nak, tunggu
Kita kelak akan bersama lagi seperti dulu …

Laa ilaaha illallah Muhammadarrasuulullah
Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raajiuun…"

♥ Bismillahirrahmaanirrahiim ♥

(SUNGGUH SAYA MENANGIS , TUBUHKU MERINDING KALA BACA INI !!! Kisah serangan udara tentara Israel kepada penduduk Palestine)

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim ...

Ahmed putraku...

Ummi tak tahu kenapa pagi ini kau bersikeras
pergi ke pasar untuk belanja dapur kita
Dimana biasanya Ummi yang melakukannya
katamu,"Biar Ummi di rumah,
Ummi mengaji saja di kamar
Biar Ahmed yang pergi ke pasar
Sekali ini saja."
Kau sangat bersikeras ...Ahmed putraku
Ummi tak ada prasangka padamu
Lelaki kecilku yang dibanggakan Abimu juga aku

Lalu kau pun pergi membawa keping logam tersisa
Untuk ditukar dengan apa saja sekedar hidup hari ini
Ummi lalu kembali larut dalam ayat Quran tercinta kita...
Kemudian mendadak suara langit menggelegar...
Pesawat dari neraka datang lagi...
Diikuti dentuman keras terdengar...
Serasa dekat di telinga Ummi

Lalu tiba-tiba saja Ummi merasa khawatir denganmu...
Lalu bergegas keluar rumah seperti para tetangga
Ummi mencari tahu apa yang telah terjadi
Semua berlari ke arah pasar tempat kau pergi...
Ahmed putraku...

Lalu ummi melihatmu terkapar di jalan...
Diantara raga-raga tak bergerak lainnya
Kau sekarat disana...Tanganmu saja yang bergerak
Ahmed putraku...
Ummi spontan membopongmu mencari pertolongan.
Di mulutmu hanya ada suara...
Suara yang sangat kita kenal...
"Allah! Allah! Allah! Allah!"

Lirih Lemah...
Tapi menembus kuat hingga langit tertinggi
Dan Allah ternyata memberi cinta di pagi ini padamu
Juga pada Ummi lalu kubisikkan kata di telingamu,

"Putraku tersayang, Sampaikan pesan Ummi pada Abimu di syurga bahwa ummi akan lanjutkan perjuangan kalian .
Ummi akan teruskan perlawanan kalian.

Selamat jalan Ahmed anakku terkasih
Selamat jalan syahidku cintaku

Ternyata Allah telah memanggilmu pagi ini
Biarkan Ummi menangis terakhir kalinya
mengantarmu pergi ke taman kehidupan sebenarnya
dimana Abimu menunggu di pintu gerbangNya
Tunggu Ummi ya nak, tunggu
Kita kelak akan bersama lagi seperti dulu …

Laa ilaaha illallah Muhammadarrasuulullah
Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raajiuun…"




Oktober 03, 2012

syahrini

0 komentar
“Edan!”
“Gak mungkin.”

“Kamu pasti ngarang.”
“Mana mungkin istrimu yang hamil, malah kamu yang disuruh…”
“Tapi ini benar, kok. Sungguh!” potong Misbah berusaha meyakinkan.

Misbah pantas ngotot, sebab masalah yang sudah memebelitnya beberapa hari belakangan ini, betul-betul membikin hidupnya tidak nyaman. Dan saat dia minta pendapat teman-teman kerjanya, mereka malah menganggab Misbah mengada-ada.

“Kamu pasti sudah lama gak ibadah yang bener, makannya jadi gampang ngawur,” Mas Putu yang sejak tadi hanya menyimak pembicaraan, akhirnya bersuara juga. Padahal biasanya, orang Bali satu itu tak gampang buka mulut kalau tak perlu benar.

“Kesurupan kok pengen mencium artis. Itu namanya kurang kerjaan,” bahkan yang sudah punya anak tiga biji, dan sudah pengalaman soal permintaan aneh dari istri yang sedang hamil, terus mencecar.
“Jadi … bagaimana?” Misbah mulai frustasi.
“Lupakan saja!”
“Begini!” Misbah coba meyakinkan lagi,”Istri saya gak mau makan, gak mau mandi, gak mau senyum apalagi ngomong, dan … pokoknya akan seenaknya, klau permintaannya gak saya penuhi!”
“Mis. Dimana pun di dunia ini, istri yang sedang hamil dan ngidam itu emang permintaannya macem-macem, semaunya dan gak dipikir lebih dulu,” ujar Umam, yang memang terkenal sabar dan toleran terhadap kesulitan orang lain.
“Tapi…”
“Tapi gak akan ada yang menyuruh suaminya untuk mencium perempuan lain. Apalagi perempuan itu bukan muhrim dan selebriti ngetop pula.”

Misbah garukgaruk kepala. Bingung.

Istri Misbah memang sedang hamil muda, dan ini anak pertama mereka. Sebetulnya laki-laki kalem berperawakan kecil ini sadar, istri yang sedang hamil memang suka minta yang aneh-aneh. Dan menurut keterangan, itu berhubungan erat dengan si jabang bayi.

Konon kabarnya juga, jika permintaan atau ngidamnya itu tak dipenuhi, maka anak yang lahir mulutnya akan selalu meneteskan air liur alias ‘ngiler’.

Misbah ingat, seorang temannya yang punya istri ABG pernah kelimpungan, gara-gara istrinya ngidam minta dibelikan rujak tumbuk. Kalau siang sih gampang mencarinya. Ini tengah malam, malah sedang enak-enaknya ngorok.

Untungnya setelah puter-puter keliling Jakarta, akhirnya si teman ini dapat juga. Maka dengan bahagia, rujak itu dipersembahkan pada istrinya. E… taunya, rujak itu Cuma diendus-endus, macam kucing menciumi bau ikan.

Terus teman Misbah yang lainnya, yang sekarang sukses jadi juragan mi ayam. Waktu ngidam, sang istri tidak maubersentuhan dengan air, alias ogah mandi, kecuali mandi di bawah air terjun, malam-malam pula. Edan, kan? Tapi toh tetap dilakoni. Dengan membawa mobil, ditemani sanak keluarganya, sang istri dibawa ke daerah Bogor yang banyak air terjunnya. Lalu… Byurrr!! Beres persoalan.

Masih banyak istri temn Misbah yang lain yang ngidamnya aneh-aneh. Tapi seaneh-anehnya mereka ngidam, menurutnya masih masuk akal.

“Lha saya? Masa’ istri saya ngidamnya, minta saya supaya mencium Syahrini,” Misbah menggerutu,”Mana mungkin! Jangankan mencium penyanyi cantik dengan bulu mata anti badai dan jambul katulistiwa-nya itu, menyentuhnya saja tentu tak boleh, karena saya sama Syahrini bukan muhrim.”

“Muhrim? Jangan sok!” begitu istri Misbah membantah, waktu laki-laki itu menjelaskan bahwa urusan cium mencium bibir perempuan bukan perkara mudah, kecuali yang memang sudah menjadi hak prerogatifnya.

“Lho iya. Kalau si Syahrini itu istri saya sendiri, sudah tentu saya uyek-uyek sampai lecek,” jawab Misbah.
Mendengar jawaban begitu, istri Misbah malah cemberut dan makin menjadi-jadi ngambeknya. Misbah mengalah. Tapi hatinya penasaran dan ingin tahu, kenapa istrinya yang baru dikawininya setahun itu ngidam aneh begitu.

“Mas, Syahrini itu penyanyi idolaku sejak dulu. Aku ingin anakku cantik, terkenal dan pinter nyanyi kayak dia,” jawab istri Misbah lugas.

MasyaAllah! Yang namanya idola itu mestinya kan orang yang keimanannya terjaga, Nabi Muhammad misalnya. Minimal, sahabat-sahabat beliau lah. Misbah ngebatin.

“Kenapa? Gak setuju?” istri Misbah meradang, saat melihat Misbah hanya bengong.
Misbah menarik napas.

“Istigfar, Dik!” ujar Misbah mengingatkan, “Punya anak itu mestinya berharap pinter ngaji, bukan pinter…”

“Apa salahnya, kalau anak kita pinter ngaji sekaligus juga pinter nyanyi?”

Misbah mati kutu.
Dan sekarang, saat Misbah minta pendapat teman-teman kerjanya, mereka malah bilang Misbah mengada-ada.

“Begini saja!” Binsar, teman Misbah yang kolektor gambar poster artis dan berharap suatu hari ketularan jadi artis juga, akhirnya member jalan keluar, “bagaimana kalau kau langsung datangi si Syahrini itu.”

“Lantas?”

“Bilang terus terang sama si Syahrini iu, soal permintaan istri kau.”

Misbah mikir.
“Kalau diizinkan mencium…” ujar Misbah ragu-ragu.

“Artinya kau beruntung!” Tukas Binsar

“Kalau gak diizinkan?”

“Artinya kau lebih beruntung!”

Lho! Misbah menepuk jidatnya. Asli, tidak mengerti.

“Kau kan bilang bilang, si Syahrini dengan kau itu kan bukan muhrim,’ jawab Binsar.

*****

Sepulang kerja, Misbah berniat bicara lagi dengan istrinya. Dia harus mengingatkan, bahwa keinginan istrinya betul-betul susah diwujudkan. Mana bisa dirinya yang cuman pegawai kelas rendahan dapat bertemu dengan selebritis kelas bintang. Kalau secara kebetulan, mungkin saja. Tapi jika sengaja ingin bertemu, apalagi ujuk-ujuk menciumnya, jangan-jangan dia langsung digelandang oleh polisi ke rumah sakit jiwa.

Tapi bagaimana kalau istrinya tetap ngotot dengan keinginannya?

Misbah bertekad untuk mencari penengah, mungkin mengadu pada mertuanya, atau memanggil guru ngaji tempat biasa sang istri berta’lim. Pokoknya harus ada yang bicara dan mengingatkan.
Kalau istrinya tetap ngotot, bahkan pakai embel-embel mengancam segala?

Mungkin saran si Binsar perlu juga ia pertimbangkan.

Misbah berdiri di depan pintu. Mulutnya belum juga mengucap salam. Dia masih berharap, istrinya mau mengganti keinginannya dengan ngidap yang lain. Jujur! Dia bukan takut dipukul oleh pengawal si Syahrini itu, atau ditangkap polisi dengan tuduhan pelecehan. Tidak. Bukan itu! Yang Misbah takutkan hanya Allah.

Selama ini dia sudah menjaga dirinya sekuat mungkin dari hal-hal yang bukan haknya. Bahkan perjodohannya dengan sang istri, dilaluinya hanya dengan sesekali berkenalan. Untungnya Allah menumbuhkan rasa cinta di hatinya, juga di hati istrinya. Jadi bagaimana mungkin, dia sekarangmelanggar apa yang selama ini ia jaga.

Tapi belum juga Misbah mengucap salam, pintu sudah terbuka. Di depannya kini berdiri istri Misbah. Wajahnya cerah. Dandanannya rapih. Malah wajah halusnya dilapisi sedikit bedak. Jilbab dan bajunya bahkan terlihat baru disetrika.

Tentu saja Misbah heran. Dia mencubit lengannya sekali. Sakit. Dua tiga kali semprul! Kulitnya malah lecet. Ini artinya dia tidak sedang bermimpi, apalagi salah masuk kamar orang lain.
“Kok gak mengucap salam?”

Misbah tergagab, “Oh.. iya.. assalamu’alaikum..” istri Misbah menggandeng Misbah yang masih terbengong-bengong dengan perubahan itu. Sementra, sambil berjalan Misbah diam-diam mencium bagian belakang julbab istrinya. Hmm, betul. Ini bau khas istrinya.

“Duduk!” kata istri Misbah.

Misbah menurut, bagai kerbau tercucuk hidungnya.

“Mau minum apa salat dulu?”

Misbah yang masih keheranan, menatap istrinya dengan seksama. Yang diperhatikan Cuma senyam-senyum. Selang beberapa saat, Misbah juga tersenyum. Dia peluk istrinya. Dia kecum dengan lembut kening, hidung dan pipi istrinya, yang sekarang wangi sabun mandi.

Alhamdulillah. Dalam hati Misbah mengucap syukur. Rupanya sang istri sudah sadar, bahwa keinginannya agar Misbah mencium Syahrini, bukan Cuma aneh tapi juga sulit diterima dari sudut manapun.

“Mas. Kok ditanya diam begitu?”

Jawabnya, Misbah mencuil hidung istrinya yang tak seberapa mancung.

“Ada berita menggembirakan. Mau denger? Ujar istri Misbah lagi.

Saya sudah tahu. Jawab Misbah dalam hati. Kamu gak akan menyuruh saya menemui dan mencium si Syahrini lagi, kan?

“Mask ok diam saja? Mau denger atau nggak?”

Misbah mengangguk.

Istri Misbah lebih mendekat, “Sekarang saya gak bakal menyuruh Mas menemui Syahrini lagi!”

“Kenapa?” Misbah pura-pura terkejut, padahal hatinya girang banget, “kata teman saya gampang kok menemui penyanyi ngetop itu.”

“Gak perlu!”

“Yakin?”

“He’eh!”

Alhamdulillah…

“Gantinya…” istri Misbah melanjutkan, matanya mengerling dengan genit.

“Apa?”

“Saya sudah menghubungi stasiun televisi.”

“Lantas?” Misbah penasaran juga. Kok bisa-bisanya si istri berhubungan dengan orang TV. Apa sekarang dia ngidam mau ikutan main sinetron? Atau kuis?

“Terus saya cerita sama orang-orang itu. Dan keinginan saya dikabulkan.” Ujar istri Misbah gembira.

“Keinginan? Maksutnya?” Misbah makin susah menebak.

“Syahrini bakal datang ke rumah kita!”


*****
“Gak mungkin!” bantah mas Putu.

“Memangnya si Syahrini itu artis kelas jalanan, mau saja disuruh mampir ke rumahmu?” Barkah ikut-ikutan menolak percaya.

“Kenyataannya begitu kok,” jelas Misbah.

“Apa kamu pakai ilmu pellet?”

“Gak. Demi Allah deh!”

“Gimana caranya, tampang kamu yang ngepas gitu, bisa ngundang penyanyi yang Cuma bisa kesaing sama Ashanti itu?”

“Bukan saya yang ngundang, Mas.”

Lho! Teman-teman Misbah terkejut.

“Terus siapa yang ngundang? Apa kelurahan sekalian buat meramaikan acara tujuh belas agustusan?”

“Bukan juga!”

Misbah lalu menjelaskan perubahan mendadak yang terjadi pada istrinya, termasuk soal menghubungi sebuah stasiun TV. Misbah pun sama seperti teman-temannya yang lain. Mulanya tidak percaya. Tapi masalahnya sekarang bukan percaya atau tidak. Tapi bagaimana kalau si Syahrini itu benar-benar datang?

Misbah diam. Mas Putu, Barkah dan yang lainnya pun idem. Baru setelah kopi di gelas mereka tandas, Binsar bicara.

“Menurutku masuk akal!”

“Alasannya?” Tanya Barkah.

“Artis sekarang kan ulahnya memang sering aneh. Bahkan tidak jarang, untuk mendongkrak popularitas mereka yang mulai jeblok, mereka tak segan melakukan hal-hal ajaib dan memalukan untuk mengundang perhatian masyarakat.”

“Aku tetap gak percaya!” Barkah ngotot.

“Kenapa?”

“Tetanggaku pernah ngundang artis untuk merayakan ulang tahun anaknya. Memang sih si artis itu belum ngetop. Tapi jangankan datang, dihubungi lewat telpon saja susahnya setengah mati.”

“Sekarang masalahnya jadi lebih serius. Bukan si Syahrini itu bisa datang atau tidak, tapi bisa gak Misbah mencium dia untuk memenuhi keinginan aneh istrinya?” Tanya Mas Umam.

“Aku kira bisa, para artis kan biasanya gampangan,” jawab Barkah.

“Heh. Bacot kamu dipelihara sedikit dong!” omel Mas Putu.

“Jangan su’udzon gitu,” Misbah menengahi, dia tidak mau persoalan ngidam istrinya menimbulkan akibat buruk di kalangan teman-temannya, “saya memang berharap si Syahrini itu datang, tapi sama sekali gak puna keinginan buat menciumnya.”

“Gimana kalau digantikan?” celetuk Binsar.

“Maksutnya?”

“Biar aku saja yang meniumnya!”
Hush!!

*****
Akhirnya hari yang ditunggu itupun tiba.

Rumah Misbah yang sumpek dan sepi sekarang jadi meriah. Di depan gang menuju rumahnya dipasangi umbul-umbul setinggi empat meter. Plus sebuah spanduk besar bertuliskan : SELAMAT DATANG SYAHRINI, IDOLAKU!

Semua tetangga yang tahu kalau tempat Misbah akan kedatangan tamu terkenal, pun jadi bermunculan, lengkap dengan make’up dan pakaian tidak kalah ngartis. Maklum nanti kan disyuting masuk TV.
“Kan bakal ketemu orang ngetop,” begitu alasan seorang tetangga Misbah.

“Yang ginian ga setahun sekali,” tetangga yang lain ikut menimpali.
“Sekali-sekali niru lagaknya orang beken,” kata yang lain pula.

Teman-teman kerja Misbah juga sudah menunggu dengan pakaian yang sama bagusnya dengan pakaian lebaran. Sebagian dari mereka menunggu di mulut gang, sebagian lagi siap menyambut di depan pintu.
Istri Misbah pun tak kalah rapih dan cantiknya. Perempuan itu mengenakan pakaiannya yang paling bagus dan belum pernah dipakai. Minyak wangi yang tak pernah dia sentuh sejak ngidam, kini disemprotkan lagi ke beberapa bagian tubuhnya.

Tak jauh dari istri Misbah, duduk Misbah didampingi Pak RT dan ketua karang taruna, yang dengan sukarela, siap menjadi juru bicara.

Menjelang siang, seorang perempuan muda yang cantik, dengan make’up tebal, bulu mata anti badai dan tatanan rambut ala gorong-gorong Sudirman muncul. Di belakangnya beberapa orang bodyguard dan kru stasiun TV, juga ikut mengawal. Perempuan cantik berbaju pink itu tersenyum manis. Berjalan dengan anggun dan langkah kali yang diatur sedemikian rupa melewati kerumunan orang-orang.

Dari kejauhan, istri Misbah takjub memandangnya. Tetangga-tetangga Misbah bengong. Teman-teman Misbah ternganga. Semua tak menyangka kalau Syahrini, pelantun lagu “Sesuatu” yag lagi naik daun itu benar-benar muncul di depan mereka.

Maka dalam hitungan detik, setelah sempat terjadi kevakuman suasana akibat rasa kaget yang amat luar biasa, segera timbul suara-suara kekaguman.

“Wah, cantiknya…”
“Kayak bidadari…”
“Serius. Saya gak percaya dia itu cantik sekali kalau dilihat langsung.”
Sementara, teman-teman Misbah yang juga mengagumi kecantikan Syahrini, juga mulai berkerumun dan berbisik-bisik.
“Betul kan aku bilang, si Syahrini itu pasti datang.”
“Tapi apa bisa teman kita mencium si Syahrini itu? Kan sesuatu banget gitu deh.”
“Saya kira gak!”
“Aku kira bisa.”
“Ya sudah kita lihat saja.”

Di sudut lain, Misbah yang merasa wajib menjadi tuan rumah yang baik, segera menyambut tamunya. Tanpa menunggu aba-aba, dia cepat-cepat menghampiri Syahrini. Wajahnya dipasang ramah meskipun terlihat kikuk. Mulutnya dibuat tersenyum.

“Assalamu’alaikum…” ujar Misbah.
Syahrini memandang Misbah, lalu menjawab salam.

“Saya Misbah..” anak muda itu memperkenalkan diri. Wajahnya dia tundukkan. Bukan grogi, apalagi malu. Misbah hanya meyakini satu hal, untuk selalu menghindari apa yang bukan menjadi haknya, “saya…”

“Saya sudah tahu kok,” potong Syahrini, “Istri kamu kan yang sedang ngidam dan mengundang saya? Sesuatu banget ya?”

“Ya!” jawab Misbah, wajahnya tetap tertunduk, “Saya mengucapkan terimakasih karena… Mbak mau datang ke tempat saya.”

Syahrini tersenyum. Melihat sikap dan keramahan Misbah, timbul keheranan dalam hati bintang cantik itu. Sebab yang sering terjadi para penggemarnya selalu menatap dengan pandangan yang tidak sopan. Bahkan tak jarang yang bersikap kurang ajar.
Tapi pemuda yang ada di depannya itu betul-betul berbeda. Aka diam-diam muncul keinginan Syahrini untuk menggoda.

“Istri kamu pasti cantik!”

“I… iya … Alhamdulillah…,” jawab Misbah.

Melihat Misbah yang tak menoleh sedikitpun ke arahnya, Syahrini mendekatkan mulutnya ke telinga Misbah dan berbisik.

“Cantik mana dengan saya?”

Didekati Syahrini begitu, Misbah tambah kikuk.
“Mbak cantik sekali.. tapi…”

“Tapi kenapa?”

“Bagi saya … e .. istri saya yang paling cantik…”

Syahrini tertawa ngikik, sampai orang-orang yang melihatnya kaget, sebab tak mengerti apa saja yang dibicarakan mereka, dan kenapa tiba-tiba kedua orng itu kelihatan gembira gitu.
“Ya, sudah. Yuk, kita masuk!” ujar Syahrini, lalu dengan akrab menggandeng tangan Misbah, yang semakin terlihat serba salah.

Berbeda dengan Misbah dan Syahrini, teman-teman dan tetangga Misbah malah jadi gak habis pikir. Bagaimana mungkin Misbah yang kere, yang tinggalnya saja di gang sempit, bisa berkenalan dan berakkrab-akrab dengan bintang dan penyanyi terkenal?

Tapi pertanyaan itu hanya mampir sebentar di kepala mereka. Sebab tiba-tiba, entah karena iri pada Misbah atau karena hal lain, tanpa bisa dicegah semua orang meluruk ke arah Syahrini. Ada yang berebut mencium tangannya. Ada yang mencubit. Ada yang mencolek pipi, badan, bahkan dagian belakang tubuhnya. Ada yang hanya memandangi dari kejauhan dengan kagum. Beberapa orang yang sudah menyiapkan buku, segera menyodorkan agar ditandatangani.

Menerima sambutan begitu, Syahrini girang banget. Dia sapa mereka satu-satu sambil mengucapkan “Alhamdulillah ya sesuatu banget?” dia salami semua penggemarnya dengan ramah. Satu-dua orang malah diberi ciuman di pipi kiri kanan. Semua bergembira. Semua tertawa. Tetangga-tetangga Misbah. Pak RT. Ketua Karang taruna. Teman-teman Misbah. Tidak terkecuali Misbah. Meski dia tetap menahan diri.

“Mis, cepat kau cium si Syahrini itu. Mumpung ramai!” bisik Binsar, yang tau-tau sudah berdiri di samping Misbah.

Misbah melotot ke arah Binsar.

“Aduuuhh. Kapan lagi? Ini kesempatan.”

Misbah tetap tak mau. Baginya, ada atau tidak ada kesempatan, prinsip tetap harus dipegang teguh.
Binsar tiba-tiba mendekati Syahrini dan berbisik. Syahrini langsung menatap Misbah. Lalu pelan-pelan mendekati pemuda itu. Misbah yang sadar apa yang bakal terjadi, cepat-cepat bergeser menjauh.
Tapi mendadak saja beberapa orang memegangi Misbah. Misbah berontak, namun tak berdaya. Dan hanya dalam hitungan detik, sebuah ciuman mendarat di pipi kiri dan kanan Misbah. Meninggalkan bekas berwarna merah menyala. Orang-orang pun bersorak.

Misbah kaget, malu dan merasa diremehkan. Tapi Misbah tak bisa menyalahkan siapapun. Bukankah istrinya yang telah mengundang si Syahrini itu?

Yang juga tak kalah terkejutnya tentu saja istri Misbah. Melihat suainya mendapat ciuman, bahkan semua orang menyambut adegan itu dengan berteriak kegirangan, istri Misbah yang tidak tahu persoalan sebenarnya jadi cemburu. Dadanya tiba-tiba terbakar.

“Astagfirullah… Astagfirullah…” kata istri Misbah berusaha menenangkan diri. Tapi hati calon ibu muda itu sudah terlanjur dipenuhi rasa cemburu. Lalu tanpa basa-basi lagi, dia menghambur ke dalam dan langsung mengunci pintu kamarnya rapat-rapat.

Entah kenapa, tiba-tiba saja perempuan itu merasa marah kepada semua orang ngetop, pemain sinetron, diva, bintang tenar dan apapun yang berbau selebritis…




***Dimuat dengan judul asli “Krisdayanti” di kumpulan cerpen terbitan LingkarPena Publishing House berjudul “Kangen” karya Asma Nadia&Birulaut.

ku penuhi pesan mu Rahma......

0 komentar


Muharram 1405 H,

"Kenalkan, ini Rahma, baru tiga hari di sini," ucap ibu pemilik rumah

kost yang akan kutempati. Senyum manis dan tatap mata yang ramah menghiasi
wajahmu. Jilbab putih yang kau pakai semakin menambah keanggunan si pemilik
wajah yang memang cantik.

"Wilfa..., panggil saja Ifa," kataku sambil mengulurkan tangan. Engkau
menyambut dan menggenggam tanganku erat. "Rahma....," katamu lembut. "Mudah-
mudahan Ifa betah tinggal di sini," katamu lagi. "Mudah-mudahan," jawabku.

Itulah awal perkenalanku denganmu, mahasiswi baru asal Jogyakarta. Kita
menempati satu kamar di rumah Bu Santi, pemiliknya. Sikapmu yang ramah dan
terbuka membuat kita cepat akrab, sehingga teman-teman menyebut kita "Dua
Sejoli," di mana ada aku di situ ada kamu. Sejak OPSPEK sampai hari-hari
pertama kuliah kita lalui bersama. Susah senang kita tanggung bersama. Maka
tak heran bila hari-hari selanjutnya merupakan hari-hari yang menyenangkan
bagi kita, karena masing-masing kita sudah seperti saudara satu sama lain
walaupun tempat asal kita berbeda, engkau dari Jogya, sedang aku dari Bandung.

Muharram 1406 H,

"Subhanallah......., kau kelihatan lebih anggun dengan pakaian itu," ucapmu
kagum. Aku tersipu-sipu malu. Kuperhatikan diriku di kaca dengan busama muslimah
plus jilbab yang kupinjam darimu. Ya, aku berniat memakainya besok pada perayaan
Tahun Baru Islam 1 Muharram di kampus kita. Ketika menjelang tidur, fikiranku
melayang pada kejadian tadi siang. Aku merasa, pantulan bayangan di cermin itu
bukanlah diriku. Kulihat sosok anggun yang memancarkan cahaya iman di balik
busana. Timbul hasrat di hatiku untuk bisa seperti bayangan itu. Tapi...akh,
tidak ! Diriku masih kotor, pengetahuanku tentang Islam masih dangkal, kelaku-
anku masih jauh dari apa yang digariskan Islam.

Aku masih suka hura-hura dan
melakukan segala apa yang aku inginkan. Terbayang olehku orang tua dan saudara-
saudaraku di Bandung. Mereka, terutama Bapakku sangat mengharapkan agar aku
cepat menamatkan kuliahku dan bekerja di perusahaan besar tempat di mana Bapak-
ku memegang jabatan penting. Bapakku ingin agar aku seperti anak-anak dari
teman-teman relasinya yang saling berlomba-lomba mencapai kepuasan materi.

"Ada yang kaufikirkan, Fa?" pertanyaanmu mengejutkanku. "Boleh aku tahu ?":
tanyamu lagi. Aku menghela nafasku, dan berkata,"Rahma....,sudah setahun kita
bersama. Belajar..., berdiskusi..., bercanda..., seakan-akan kita tak berbeda."

Aku diam sejenak, kemudian menghela nafas lagi.
"Apa maksudmu, Fa ?" tanyamu sambil menatapku heran.
"Yach...,walaupun teman-teman tidak pernah membedakan kita, tapi hati kecilku tak dapat menyangkal. Ku akui, kita tidak sama. Ma..., masing-masing kita sudah saling tahu, siapa kau dan siapa aku. Tapi sampai sejauh itu kau tak pernah menyinggung tentang perbedaan kita.
Kau tak pernah menyinggung tentang pakaian dan penampilanku," kataku hati-hati.
Engkau memandangku lekat-lekat seakan ingin berusaha mengetahui isi hatiku.
"Boleh kutanya
sesuatu padamu ?" tanyaku. Engkau mengangguk.
"Ma..., aku ingin tahu bagaimana perasaanmu ketika pertama kali kau kenakan busana muslimahmu itu," kataku.

Kulihat kau tersentak. Lama kau pandangi aku, kemudian berkata,
"Sebelum kujawab pertanyaanmu, secara jujur kukatakan bahwa sebenarnya telah lama aku menanti
pertanyaan seperti itu darimu. Dan baru sekarang kau menanyakannya, tanpa aku
harus memancingmu, karena memang itulah yang aku harapkan. Fa...,ketika pertama
kali kukenakan busana muslimah ini, berbagai perasaan ada di hatiku, sedih,
terharu, takut, dan perasaan tentram campur jadi satu. Sedih, karena orang
tuaku tak suka melihatku berjilbab.
'Terlalu fanatik', itu kata mereka. Terharu, karena pertama kali dengan busana muslimah ini kuinjakkan kakiku di SMA, teman temanku juga kakak-kakak kelasku yang sudah berjilbab menyambutku dengan haru dan memberi selamat kepadaku.
Tapi rasa takut ketika itu masih menghantuiku kalau kuingat cerita kakak-kakakku tentang sulitnya mencari pekerjaan bagi si pemakai jilbab. Tapi..., lepas dari itu semua, ketentraman merasuk di hatiku.
Aku merasa diriku selalu berada dalam tatapan-Nya. Barulah saat itu kusadari,
itulah kebahagiaan yang kucari selama ini. Yah..., kebahagiaan yang haqiqi.
Akhirnya cobaan-cobaan kuhadapi dengan tabah, karena aku yakin Allah senantiasa
akan menolong hamba-Nya yang sungguh-sungguh melaksanakan syari'at-Nya," katamu
dengan mata berkaca-kaca.

Entah mengapa, sejak itu aku mulai tertarik pada buku-buku Islam terutama
buku-buku tentang wanita, aku mulai rajin mengikuti ta'lim di sela-sela kesi-
bukan kuliah dan praktikumku. Diriku mulai terbiasa dengan rok dan kemeja
lengan panjang. Dan dalam lemariku sudah tersedia tiga buah jilbab yang senan-
tiasa kupakai ta'lim. Hari demi hari kita semakin dekat. Engkau sering menga-
jakku berdiskusi tentang Islam dan hal-hal yang pada mulanya masih terasa
asing bagiku. Akhirnya hasrat yang terpendam di hatiku selama ini mencapai
klimaksnya. Suatu malam kukatakan maksudku untuk berbusana muslimah kepadamu.
Sambil berlinang air mata engkau memelukku dan berkata :"Ifa..., aku bahagia
atas keputusanmu, kita kita sudah betul-betul sama, tidak ada lagi perbedaan
di antara kita. Semoga engkau mendapat berkah-Nya dan semoga Dia senantiasa
memberikan kekuatan kepada kita untuk tetap berpegang pada syari'at-Nya."
Akhirnya malam yang penuh haru itu kita isi dengan Qiyamul lail untuk lebih
mendekatkan diri kepada-Nya.


Muharram 1408 H

Tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Kemarin kita telah menjalani
wisuda. Semua mahasiswa rantauan termasuk kita bersiap-siap pulang ke
kampung masing-masing.
"Selamat tinggal, kota hujan. Kota penuh kenangan. Kota tempat kami menyatukan hati dan fikiran. Kota tempat kami menuai benih-benih iman di hati." Itulah kata-kata terakhir dalam hatiku ketika
mulai menaikkan kaki ke dalam bis yang akan membawaku ke Bandung. Kesedihan
melanda hatiku ketika dalam perjalanan fikiranku melayang, teringat kata-katamu terakhir kali saat kau mengantarku ke terminal.
"Aku harap, kau bisa datang ke walimahan kami di Jogya nanti," ucapmu sedih campur bahagia.
Aku pun turut bahagia karena tak lama lagi engkau akan mendapat pendamping seorang
ikhwan di kota kelahiranmu.
"InsyaAllah, aku datang," ucapku bergetar menahan haru dan sedih. Waktu itu kita berjanji untuk saling berkirim kabar lewat surat. Hanya seraut wajah yang berlinang air mata dan lambaian tangan yang kulihat lewat jendela kaca bis yang mulai bergerak.
"Selamat tinggal, Rahma..."ucapku dalam hati.

Kesedihanku belum reda ketika kulalui hari-hari pertamaku di Bandung,
kota kelahiranku. Tak terasa sebulan berlalu, rasa rindu ingin bertemu
denganmu mulai kutuangkan lewat surat pertamaku ke Jogya. Kutulis juga
permintaan maafku kepadamu atas ketidakhadiranku pada acara walimahanmu.
Walau saat itu ingin rasanya aku ke sana, tapi...musibah telah menimpa
Bapakku dalam perjalanan tugasnya ke Menado. Pesawat yang dinaikinya jatuh
dan beliau dipanggil ke hadirat-Nya. Dua minggu kemudian, suratmu datang.
Dalam suratmu kau mengatakan ikut merasakan kesedihanku dan berharap agar
aku tabah menghadapi musibah itu. Dari isi surat yang kautulis, aku menangkap
sinyal-sinyal kebahagiaan di balik goresanmu, ceritamu tentang Bang Hanif,
suamimu yang kaubilang kelewat sabar, dan sebuah kabar gembira karena kalian
sedang menunggu datangnya si buah hati.

Muharram 1410 H,

Dua tahun berlalu tanpa terasa. Kesibukan-kesibukanku sebagai guru sebuah
TK Islam menyita hampir seluruh waktuku. Walau begitu kusempatkan diriku
untuk membalas surat-suratmu. Tapi anehnya, surat terakhir yang kukirimkan
dua bulan yang lalu, sampai saat ini belum kau balas. Barangkali kau sibuk
dengan Aisyah kecilmu yang sudah berlari ke sana ke mari, mengajarkannya
mengaji, bernasyid, oh...alangkah bahagianya engkau. Aku melihat diriku
sendiri, seperempat abad sudah usiaku dan sampai kini masih tetap sendiri.
Tapi aku yakin, suatu saat nanti Allah akan memberikan aku seorang pendamping
yang akan memberiku buah hati seperti yang kau miliki. Aku tetap sabar menunggu
balasan darimu.

Suatu sore di hari Ahad, seorang perempuan setengah tua datang ke rumahku.

"Ini rumah Ibu Wilfa ?" tanyanya. "Ya, benar....saya sendiri Wilfa," jawabku.
Kupersilahkan wanita itu masuk dan duduk. Sambil mempersiapkan minuman, tak
henti-hentinya aku berfikir mengingat-ingat wajah wanita itu, wajah yang
seakan-akan memendam duka teramat dalam.
"Rasa-rasanya aku pernah melihatnya,
tapi...di mana ya....?" fikirku. Kupersilahkan dia minum, lalu kutanyakan
maksud kedatangannya mencariku. Setelah dia memperkenalkan diri, barulah aku
ingat bahwa dia adalah ibumu dari Jogya. Engkau pernah menunjukkan foto beliau
kepadaku dulu waktu kita masih kuliah. Sewaktu kutanyakan kepadanya tentang
keadaanmu, wajah yang sendu itu kelihatan bertambah sedih bahkan butiran-butiran
air mata mulai membasahi pipinya yang sudah mulai keriput. Di sela-sela isak
tangisnya, dia mengatakan bahwa engkau telah dipanggil ke hadirat-Nya seminggu
yang lalu. Yah....leukimia yang sejak SMA kau derita telah memisahkanmu dari
mereka yang mencintaimu. Aku terhenyak mendengar ini semua, seakan tak percaya.

"Rahmah, kenapa kau tak pernah bercerita padaku tentang penyakitmu," kataku
terisak. Wanita itu mengatakan bahwa engkau tak pernah menceritakan penyakit
yang kau derita itu pada siapapun termasuk aku dan suamimu. Ingatanku melayang,
teringat pada saat-saat terakhir bersamamu di terminal. Rupanya itulah saat
terakhir aku melihatmu. Engkau telah menghadap-Nya, mudah-mudahan engkau
bahagia di alam sana. Sebelum wanita itu pulang, beliau menyerahkan sepucuk
surat yang kautulis sebelum engkau pergi, dan dia berharap, agar aku dapat
memenuhi permintaan terakhir di surat itu. Kubuka surat itu, dan kubaca :

"Ukhti Wilfa, maafkan bila surat terakhirmu belum sempat kubalas. Aku sudah
merasa Dia akan memanggilku. Leukimia yang telah lama bersemayan di tubuhku
akan segera memisahkanku dari mereka yang kucintai dan mencintaiku. Maafkan
bila selama ini aku bersalah atau berdosa kepadamu. Aku berharap engkau bisa
memenuhi permintaan terakhirku. Tolong jaga Bang Hanif dan Aisyahku. Kuperca-
yakan mereka kepadamu. Aku sudah mengatakan masalah ini pada Bang Hanif, dan
dia berjanji akan berusaha memenuhi permintaanku. Aku mengharap ketulusan
hatimu, ukhti. Didiklah Aisyah bagaikan anak ukhti sendiri."

Wassalamu
Rahma

Air mataku mengalir bertambah deras. Aku hanya berdoa mudah-mudahan aku dapat
melaksanakan pesanmu dengan baik.

Muharram 1412 H

"Aisyah...., tolong temani dik Azzam sebentar. Umi mau buatkan susu
dulu," kataku sambil berlari ke dapur. Kesibukanku mendidik Aisyah dan
Azzam bertambah kalau Bang Hanif tidak di rumah. Beliau sedang menghadiri
peringatan tahun baru Islam 1 Muharram di masjid dekat rumah kami. Entah
mengapa, setiap datang bulan Muharram, aku teringat kembali kepadamu, Rahma.
Alhamdulillah...aku bisa memenuhi pesan terakhirmu, dua tahun yang lalu.
Ceritanya begini : Sebulah setelah Dia memanggilmu, seorang ikhwan beserta
gadis kecil berjilbab putih menemui paman dan ibuku untuk melamarku. Walaupun
aku belum pernah melihat Bang Hanif dan Aisyahmu, tapi perasaanku mengatakan
itulah mereka. Setelah kuceritakan isi surat itu kepada paman, akhirnya kami
pun menikah sebulan kemudian. Alhamdulillah....sekarang kami telah memiliki
dua buah hati yaitu Aisyah kita dan Azzam, buah hati kami.

Ukhti....,telah kupenuhi pesanmu. InsyaAllah, akan kudidik mereka agar
menjadi mujahid dan mujahidah yang nantinya akan membela Islam seperti apa
yang kita harapkan. Amiin yaa Robbal'aalamiin.


(Alhamdulillah tammat)
----------------------

(Majalah Ummi No. 4 tahun III Shafar 1412 H/Agustus 1991 M)

aku mencintai suami ku

0 komentar



Halal-kan Aku Ayah
Cerita ini adalah kisah nyata… dimana perjalanan hidup ini ditulis oleh seorang istri dalam sebuah laptopnya.
Bacalah, semoga kisah nyata ini menjadi pelajaran bagi kita semua.
nb: sediakan tissu sebelum membacanya yak..

****

Cinta itu butuh kesabaran…
Sampai dimanakah kita harus bersabar menanti cinta kita???
Hari itu.. aku dengannya berkomitmen untuk menjaga cinta kita…
Aku menjadi perempuan yg paling bahagia…
Pernikahan kami sederhana namun meriah…
Ia menjadi pria yang sangat romantis pada waktu itu.
Aku bersyukur menikah dengan seorang pria yang shaleh, pintar, tampan & mapan pula.

Ketika kami berpacaran dia sudah sukses dalam karirnya.
Kami akan berbulan madu di tanah suci, itu janjinya ketika kami berpacaran dulu…

Dan setelah menikah, aku mengajaknya untuk umroh ke tanah suci…
Aku sangat bahagia dengannya, dan dianya juga sangat memanjakan aku… sangat terlihat dari rasa cinta dan rasa sayangnya pada ku.
Banyak orang yang bilang kami adalah pasangan yang serasi. Sangat terlihatsekali bagaimana suamiku memanjakanku. Dan aku bahagia menikah dengannya.

***


Lima tahun berlalu sudah kami menjadi suami istri, sangat tak terasa waktu begitu cepat berjalan walaupun kami hanya hidup berdua saja karena sampai saatini aku belum bisa memberikannya seorang malaikat kecil (bayi) di tengah keharmonisan rumah tangga kami.
Karena dia anak lelaki satu-satunya dalam keluarganya, jadi aku harus berusaha untuk mendapatkan penerus generasi baginya.

Alhamdulillah saat itu suamiku mendukungku…
Ia mengaggap Allah belum mempercayai kami untuk menjaga titipan-NYA.
Tapi keluarganya mulai resah. Dari awal kami menikah, ibu & adiknya tidak menyukaiku. Aku sering mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan dari mereka, namun aku selalu berusaha menutupi hal itu dari suamiku…
Didepan suami ku mereka berlaku sangat baik padaku, tapi dibelakang suami ku, aku dihina-hina oleh mereka…


Pernah suatu ketika satu tahun usia pernikahan kami, suamiku mengalami kecelakaan, mobilnya hancur. Alhamdulillah suami ku selamat dari maut yanghampir membuat ku menjadi seorang janda itu.
Ia dirawat dirumah sakit pada saat dia belum sadarkan diri setelah kecelakaan. Aku selalu menemaninya siang & malam sambil kubacakan ayat-ayat suci Al –Qur’an. Aku sibuk bolak-balik dari rumah sakit dan dari tempat aku melakukanaktivi
tas sosial ku, aku sibuk mengurus suamiku yang sakit karena kecelakaan.

Namun saat ketika aku kembali ke rumah sakit setelah dari rumah kami, akumelihat di dalam kamarnya ada ibu, adik-adiknya dan teman-teman suamiku, dandisaat itu juga.. aku melihat ada seorang wanita yang sangat akrab mengobroldengan ibu mertuaku. Mereka tertawa menghibur suamiku.

Alhamdulillah suamiku ternyata sudah sadar, aku menangis ketika melihat suamiku sudah sadar, tapi aku tak boleh sedih di hadapannya.
Kubuka pintu yang tertutup rapat itu sambil mengatakan, “Assalammu’alaikum” danmereka menjawab salam ku. Aku berdiam sejenak di depan pintu dan mereka semuamelihatku. Suamiku menatapku penuh manja, mungkin ia kangen padaku karena sudah 5 hari mata nya selalu tertutup.

Tangannya melambai, mengisyaratkan aku untuk memegang tangannya erat. Setelahaku menghampirinya, kucium tangannya sambil berkata “Assalammu’alaikum”, ia punmenjawab salam ku dengan suaranya yg lirih namun penuh dengan cinta. Aku punsenyum melihat wajahnya.

Lalu.. Ibu nya berbicara denganku …
“Fis, kenalkan ini Desi teman Fikri”.
Aku teringat cerita dari suamiku bahwa teman baiknya pernah mencintainya,perempuan itu bernama Desi dan dia sangat akrab dengan keluarga suamiku. Hinggaakhirnya aku bertemu dengan orangnya juga. Aku pun langsung berjabat tangandengannya, tak banyak aku bicara di dalam ruangan tersebut,aku tak mengerti apayg mereka bicarakan.

Aku sibuk membersihkan & mengobati luka-luka di kepala suamiku, barusebentar aku membersihkan mukanya, tiba-tiba adik ipar ku yang bernama Dianmengajakku keluar, ia minta ditemani ke kantin. Dan suamiku pun mengijinkannya.Kemudian aku pun menemaninya.
Tapi ketika di luar adik ipar ku berkata, “lebih baik kau pulang saja, adakami yg menjaga abang disini. Kau istirahat saja. ”

Anehnya, aku tak diperbolehkan berpamitan dengan suamiku dengan alasan abangharus banyak beristirahat dan karena psikologisnya masih labil. Aku berdebatdengannya mempertanyakan mengapa aku tidak diizinkan berpamitan dengan suamiku.Tapi tiba-tiba ibu mertuaku datang menghampiriku dan ia juga mengatakan halyang sama.

Nantinya dia akan memberi alasan pada suamiku mengapa aku pulang takberpamitan padanya, toh suamiku selalu menurut apa kata ibunya, baik ibunyasalah ataupun tidak, suamiku tetap saja membenarkannya. Akhirnya aku pun pergimeninggalkan rumah sakit itu dengan linangan air mata.
Sejak saat itu aku tidak pernah diijinkan menjenguk suamiku sampai ia kembalidari rumah sakit. Dan aku hanya bisa menangis dalam kesendirianku. Menangismengapa mereka sangat membenciku.

***

Hari itu.. aku menangis tanpa sebab, yang ada di benakku aku takutkehilangannya, aku takut cintanya dibagi dengan yang lain.
Pagi itu, pada saat aku membersihkan pekarangan rumah kami, suamiku memanggilku ke taman belakang, ia baru aja selesai sarapan, ia mengajakku duduk diayunan favorit kami sambil melihat ikan-ikan yang bertaburan di kolam airmancur itu.

Aku bertanya, “Ada apa kamu memanggilku?”
Ia berkata, “Besok aku akan menjenguk keluargaku di Sabang”
Aku menjawab, “Ia sayang.. aku tahu, aku sudah mengemasi barang-barang kamu ditravel bag dan kamu sudah memeegang tiket bukan?”
“Ya tapi aku tak akan lama disana, cuma 3 minggu aku disana, aku juga sudahlama tidak bertemu dengan keluarga besarku sejak kita menikah dan aku akanpulang dengan mama ku”, jawabnya tegas.

“Mengapa baru sekarang bicara, aku pikir hanya seminggu saja kamu disana?”,tanya ku balik kepadanya penuh dengan rasa penasaran dan sedikit rasa kecewakarena ia baru memberitahukan rencana kepulanggannya itu, padahal aku telahbersusah payah mencarikan tiket pesawat untuknya.

“Mama minta aku yang menemaninya saat pulang nanti”, jawabnya tegas.
“Sekarang aku ingin seharian dengan kamu karena nanti kita 3 minggu tidakbertemu, ya kan?”, lanjut nya lagi sambil memelukku dan mencium keningku.Hatiku sedih dengan keputusannya, tapi tak boleh aku tunjukkan pada nya.

Bahagianya aku dimanja dengan suami yang penuh dengan rasa sayang &cintanya walau terkadang ia bersikap kurang adil terhadapku.
Aku hanya bisa tersenyum saja, padahal aku ingin bersama suamiku, tapi karenakeluarganya tidak menyukaiku hanya karena mereka cemburu padaku karena suamikusangat sayang padaku.

Kemudian aku memutuskan agar ia saja yg pergi dan kami juga harus berhematdalam pengeluaran anggaran rumah tangga kami.
Karena ini acara sakral bagi keluarganya, jadi seluruh keluarganya haruskomplit. Walaupun begitu, aku pun tetap tak akan diperdulikan oleh keluarganyaharus datang ataupun tidak. Tidak hadir justru membuat mereka sangat senang danaku pun tak mau membuat riuh keluarga ini.

Malam sebelum kepergiannya, aku menangis sambil membereskan keperluan yang akandibawanya ke Sabang, ia menatapku dan menghapus airmata yang jatuh dipipiku,lalu aku peluk erat dirinya. Hati ini bergumam tak merelakan dia pergi seakanterjadi sesuatu, tapi aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Aku hanya bisamenangis karena akan ditinggal pergi olehnya.

Aku tidak pernah ditinggal pergi selama ini, karena kami selalu bersama-samakemana pun ia pergi.
Apa mungkin aku sedih karena aku sendirian dan tidak memiliki teman, karenabiasanya hanya pembantu sajalah teman mengobrolku.
Hati ini sedih akan di tinggal pergi olehnya.
Sampai keesokan harinya, aku terus menangis.. menangisi kepergiannya. Aku taktahu mengapa sesedih ini, perasaanku tak enak, tapi aku tak boleh berburuksangka. Aku harus percaya apada suamiku. Dia pasti akan selalu menelponku.

***


Berjauhan dengan suamiku, aku merasa sangat tidak nyaman, aku merasa sendiri.Untunglah aku mempunyai kesibukan sebagai seorang aktivis, jadinya aku takterlalu kesepian ditinggal pergi ke Sabang.
Saat kami berhubungan jarak jauh, komunikasi kami memburuk dan aku pun jatuhsakit. Rahimku terasa sakit sekali seperti di lilit oleh tali. Tak tahan akumenahan rasa sakit dirahimku ini, sampai-sampai aku mengalami pendarahan. Akudilarikan ke rumah sakit oleh adik laki-lakiku yang kebetulan menemanikudisana. Dokter memvonis aku terkena kanker mulut rahim stadium 3.

Aku menangis.. apa yang bisa aku banggakan lagi..
Mertuaku akan semakin menghinaku, suamiku yang malang yang selalu berharap akanpunya keturunan dari rahimku.. namun aku tak bisa memberikannya keturunan. Dan kemudianaku hanya bisa memeluk adikku.

Aku kangen pada suamiku, aku selalu menunggu ia pulang dan bertanya-tanya,”kapankah ia segera pulang?” aku tak tahu..
Sementara suamiku disana, aku tidak tahu mengapa ia selalu marah-marah jikamenelponku. Bagaimana aku akan menceritakan kondisiku jika ia selalu marah-marah terhadapku..

Lebih baik aku tutupi dulu tetang hal ini dan aku juga tak mau membuatnyakhawatir selama ia berada di Sabang.
Lebih baik nanti saja ketika ia sudah pulang dari Sabang, aku akan ceritapadanya. Setiap hari aku menanti suamiku pulang, hari demi hari aku hitung…

Sudah 3 minggu suamiku di Sabang, malam itu ketika aku sedang melihat foto-fotokami, ponselku berbunyi menandakan ada sms yang masuk.
Kubuka di inbox ponselku, ternyata dari suamiku yang sms.
Ia menulis, “aku sudah beli tiket untuk pulang, aku pulangnya satu hari lagi,aku akan kabarin lagi”.
Hanya itu saja yang diinfokannya. Aku ingin marah, tapi aku pendam saja egoyang tidak baik ini. Hari yg aku tunggu pun tiba, aku menantinya di rumah.

Sebagai seorang istri, aku pun berdandan yang cantik dan memakai parfumkesukaannya untuk menyambut suamiku pulang, dan nantinya aku juga akanmenyelesaikan masalah komunikasi kami yg buruk akhir-akhir ini.

Bel pun berbunyi, kubukakan pintu untuknya dan ia pun mengucap salam. Sebelummasuk, aku pegang tangannya kedepan teras namun ia tetap berdiri, akumembungkuk untuk melepaskan sepatu, kaos kaki dan kucuci kedua kakinya, aku takmau ada syaithan yang masuk ke dalam rumah kami.

Setelah itu akupun berdiri langsung mencium tangannya tapi apa reaksinya..
Masya Allah.. ia tidak mencium keningku, ia hanya diam dan langsung naikkeruangan atas, kemudian mandi dan tidur tanpa bertanya kabarku..
Aku hanya berpikir, mungkin dia capek. Aku pun segera merapikan bawaan nyasampai aku pun tertidur. Malam menunjukkan 1/3 malam, mengingatkan aku padatempat mengadu yaitu Allah, Sang Maha Pencipta.

Biasa nya kami selalu berjama’ah, tapi karena melihat nya tidur sangat pulas,aku tak tega membangunkannya. Aku hanya mengeelus wajahnya dan aku ciumkeningnya, lalu aku sholat tahajud 8 rakaat plus witir 3 raka’at.

***


Aku mendengar suara mobilnya, aku terbangun lalu aku melihat dirinya daribalkon kamar kami yang bersiap-siap untuk pergi. Lalu aku memanggilnya tapi iatak mendengar. Kemudian aku ambil jilbabku dan aku berlari dari atas ke bawahtanpa memperdulikan darah yg bercecer dari rahimku untuk mengejarnya tapi iabegitu cepat pergi.
Aku merasa ada yang aneh dengan suamiku. Ada apa dengan suamiku? Mengapa iabersikap tidak biasa terhadapku?

Aku tidak bisa diam begitu saja, firasatku mengatakan ada sesuatu. Saat itujuga aku langsung menelpon kerumah mertuakudan kebetulan Dian yang mengangkattelponnya, aku bercerita dan aku bertanya apa yang sedang terjadi dengansuamiku. Dengan enteng ia menjawab, “Loe pikir aja sendiri!!!”. Telpon punlangsung terputus.

Ada apa ini? Tanya hatiku penuh dalam kecemasan. Mengapa suamiku berubahsetelah ia kembali dari kota kelahirannya. Mengapa ia tak mau berbicara padaku,apalagi memanjakan aku.
Semakin hari ia menjadi orang yang pendiam, seakan ia telah melepas tanggungjawabnya sebagai seorang suami. Kami hanya berbicara seperlunya saja, akuselalu diintrogasinya. Selalu bertanya aku dari mana dan mengapa pulangterlambat dan ia bertanya dengan nada yg keras. Suamiku telah berubah.

Bahkan yang membuat ku kaget, aku pernah dituduhnya berzina dengan mantanpacarku. Ingin rasanya aku menampar suamiku yang telah menuduhku serendah itu,tapi aku selalu ingat.. sebagaimana pun salahnya seorang suami, status suamitetap di atas para istri, itu pedoman yang aku pegang.
Aku hanya berdo’a semoga suamiku sadar akan prilakunya.

***


Dua tahun berlalu, suamiku tak kunjung berubah juga. Aku menangis setiap malam,lelah menanti seperti ini, kami seperti orang asing yang baru saja berkenalan.
Kemesraan yang kami ciptakan dulu telah sirna. Walaupun kondisinya tetapseperti itu, aku tetap merawatnya & menyiakan segala yang ia perlukan.Penyakitkupun masih aku simpan dengan baik dan sekalipun ia tak pernah bertanyaperihal obat apa yang aku minum. Kebahagiaan ku telah sirna, harapan menjadiibu pun telah aku pendam. Aku tak tahu kapan ini semua akan berakhir.

Bersyukurlah.. aku punya penghasilan sendiri dari aktifitasku sebagai seorangguru ngaji, jadi aku tak perlu meminta uang padanya hanya untuk pengobatankankerku. Aku pun hanya berobat semampuku.
Sungguh.. suami yang dulu aku puja dan aku banggakan, sekarang telah menjadiorang asing bagiku, setiap aku bertanya ia selalu menyuruhku untuk berpikirsendiri. Tiba-tiba saja malam itu setelah makan malam usai, suamikumemanggilku.

“Ya, ada apa Yah!” sahutku dengan memanggil nama kesayangannya “Ayah”.
“Lusa kita siap-siap ke Sabang ya.” Jawabnya tegas.
“Ada apa? Mengapa?”, sahutku penuh dengan keheranan.
Astaghfirullah.. suami ku yang dulu lembut tiba-tiba saja menjadi kasar, diamembentakku. Sehingga tak ada lagi kelanjutan diskusi antara kami.
Dia mengatakan “Kau ikut saja jangan banyak tanya!!”

Lalu aku pun bersegera mengemasi barang-barang yang akan dibawa ke Sabangsambil menangis, sedih karena suamiku kini tak ku kenal lagi.
Dua tahun pacaran, lima tahun kami menikah dan sudah 2 tahun pula ia menjadiorang asing buatku. Ku lihat kamar kami yg dulu hangat penuh cinta yang dihiasifoto pernikahan kami, sekarang menjadi dingin.. sangat dingin dari batu es. Akumenangis dengan kebingungan ini. Ingin rasanya aku berontak berteriak, tapi akutak bisa.

Suamiku tak suka dengan wanita yang kasar, ngomong dengan nada tinggi, sukamembanting barang-barang. Dia bilang perbuatan itu menunjukkan sikapketidakhormatan kepadanya. Aku hanya bisa bersabar menantinya bicara dan sabarmengobati penyakitku ini, dalam kesendirianku..

***


Kami telah sampai di Sabang, aku masih merasa lelah karena semalaman aku tidaktidur karena terus berpikir. Keluarga besarnya juga telah berkumpul disana,termasuk ibu & adik-adiknya. Aku tidak tahu ada acara apa ini..
Aku dan suamiku pun masuk ke kamar kami. Suamiku tak betah didalam kamar tuaitu, ia pun langsung keluar bergabung dengan keluarga besarnya.

Baru saja aku membongkar koper kami dan ingin memasukkannya ke dalam lemari tuayg berada di dekat pintu kamar, lemari tua yang telah ada sebelum suamiku lahirtiba-tiba Tante Lia, tante yang sangat baik padaku memanggil ku untuk bersegeraberkumpul diruang tengah, aku pun menuju ke ruang keluarga yang berada ditengahrumah besar itu, yang tampak seperti rumah zaman peninggalan belanda.

Kemudian aku duduk disamping suamiku, dan suamiku menunduk penuh dengankebisuan, aku tak berani bertanya padanya.
Tiba-tiba saja neneknya, orang yang dianggap paling tua dan paling berhak atassemuanya, membuka pembicaraan.

“Baiklah, karena kalian telah berkumpul, nenek ingin bicara dengan kau Fisha”.Neneknya berbicara sangat tegas, dengan sorot mata yang tajam.
“Ada apa ya Nek?” sahutku dengan penuh tanya..
Nenek pun menjawab, “Kau telah bergabung dengan keluarga kami hampir 8 tahun,sampai saat ini kami tak melihat tanda-tanda kehamilan yang sempurna sebabselama ini kau selalu keguguran!!”.
Aku menangis.. untuk inikah aku diundang kemari? Untuk dihina ataukahdipisahkan dengan suamiku?

“Sebenarnya kami sudah punya calon untuk Fikri, dari dulu.. sebelum kau menikahdengannya. Tapi Fikri anak yang keras kepala, tak mau di atur,dan akhirnyamenikahlah ia dengan kau.” Neneknya berbicara sangat lantang, mungkin logatorang Sabang seperti itu semua.
Aku hanya bisa tersenyum dan melihat wajah suamiku yang kosong matanya.
“Dan aku dengar dari ibu mertuamu kau pun sudah berkenalan dengannya”, neneknyamasih melanjutkan pembicaraan itu.
Sedangkan suamiku hanya terdiam saja, tapi aku lihat air matanya. Ingin akupeluk suamiku agar ia kuat dengan semua ini, tapi aku tak punya keberanian itu.




Neneknya masih saja berbicara panjang lebar dan yang terakhir dari ucapannyadengan mimik wajah yang sangat menantang kemudian berkata, “kau maunya gimana?kau dimadu atau diceraikan?”
MasyaAllah.. kuatkan hati ini.. aku ingin jatuh pingsan. Hati ini seakan remukmendengarnya, hancur hatiku. Mengapa keluarganya bersikap seperti initerhadapku..

Aku selalu munutupi masalah ini dari kedua orang tuaku yang tinggal di pulaukayu, mereka mengira aku sangat bahagia 2 tahun belakangan ini.
“Fish, jawab!.” Dengan tegas Ibunya langsung memintaku untuk menjawab.
Aku langsung memegang tangan suamiku. Dengan tangan yang dingin dan gemetar akumenjawab dengan tegas.
“Walaupun aku tidak bisa berdiskusi dulu dengan imamku, tapi aku dapatberdiskusi dengannya melalui bathiniah, untuk kebaikan dan masa depan keluargaini, aku akan menyambut baik seorang wanita baru dirumah kami.”

Itu yang aku jawab, dengan kata lain aku rela cintaku dibagi. Dan pada saat itujuga suamiku memandangku dengan tetesan air mata, tapi air mataku tak sedikitpun menetes di hadapan mereka.
Aku lalu bertanya kepada suamiku, “Ayah siapakah yang akan menjadi sahabatkudirumah kita nanti, yah?”
Suamiku menjawab, “Dia Desi!”
Aku pun langsung menarik napas dan langsung berbicara, “Kapan pernikahannyaberlangsung? Apa yang harus saya siapkan dalam pernikahan ini Nek?.”

Ayah mertuaku menjawab, “Pernikahannya 2 minggu lagi.”
“Baiklah kalo begitu saya akan menelpon pembantu di rumah, untuk menyuruhnyamengurus KK kami ke kelurahan besok”, setelah berbicara seperti itu aku permisiuntuk pamit ke kamar.

Tak tahan lagi.. air mata ini akan turun, aku berjalan sangat cepat, aku bukapintu kamar dan aku langsung duduk di tempat tidur. Ingin berteriak, tapi akusendiri disini. Tak kuat rasanya menerima hal ini, cintaku telah dibagi. Sakit.Diiringi akutnya penyakitku..
Apakah karena ini suamiku menjadi orang yang asing selama 2 tahun belakanganini?

Aku berjalan menuju ke meja rias, kubuka jilbabku, aku bercermin sambilbertanya-tanya, “sudah tidak cantikkah aku ini?”
Ku ambil sisirku, aku menyisiri rambutku yang setiap hari rontok. Kulihatwajahku, ternyata aku memang sudah tidak cantik lagi, rambutku sudah hampirhabis.. kepalaku sudah botak dibagian tengahnya.

Tiba-tiba pintu kamar ini terbuka, ternyata suamiku yang datang, ia berdiridibelakangku. Tak kuhapus air mata ini, aku bersegera memandangnya dari cerminmeja rias itu.
Kami diam sejenak, lalu aku mulai pembicaraan, “terima kasih ayah, kamu memberisahabat kepada ku. Jadi aku tak perlu sedih lagi saat ditinggal pergi kamu nanti!Iya kan?.”

Suamiku mengangguk sambil melihat kepalaku tapi tak sedikitpun ia tersenyum danbertanya kenapa rambutku rontok, dia hanya mengatakan jangan salah memakaishampo.
Dalam hatiku bertanya, “mengapa ia sangat cuek?” dan ia sudah tak memanjakankulagi. Lalu dia berkata, “sudah malam, kita istirahat yuk!”
“Aku sholat isya dulu baru aku tidur”, jawabku tenang.

Dalam sholat dan dalam tidur aku menangis. Ku hitung mundur waktu, kapan akuakan berbagi suami dengannya. Aku pun ikut sibuk mengurusi pernikahan suamiku.
Aku tak tahu kalau Desi orang Sabang juga. Sudahlah, ini mungkin takdirku. Akuingin suamiku kembali seperti dulu, yang sangat memanjakan aku atas rasa sayangdan cintanya itu.

***


Malam sebelum hari pernikahan suamiku, aku menulis curahan hatiku di laptopku.
Di laptop aku menulis saat-saat terakhirku melihat suamiku, aku marah padasuamiku yang telah menelantarkanku. Aku menangis melihat suamiku yang sedangtidur pulas, apa salahku? sampai ia berlaku sekejam itu kepadaku. Akusave di mydocument yang bertitle “Aku Mencintaimu Suamiku.”

Hari pernikahan telah tiba, aku telah siap, tapi aku tak sanggup untuk keluar.Aku berdiri didekat jendela, aku melihat matahari, karena mungkin saja akutakkan bisa melihat sinarnya lagi. Aku berdiri sangat lama.. lalu suamiku yangtelah siap dengan pakaian pengantinnya masuk dan berbicara padaku.
“Apakah kamu sudah siap?”

Kuhapus airmata yang menetes diwajahku sambil berkata :
“Nanti jika ia telah sah jadi istrimu, ketika kamu membawa ia masuk kedalamrumah ini, cucilah kakinya sebagaimana kamu mencuci kakiku dulu, lalu ketikakalian masuk ke dalam kamar pengantin bacakan do’a di ubun-ubunnya sebagaimanayang kamu lakukan padaku dulu. Lalu setelah itu..”, perkataanku terhenti karenatak sanggup aku meneruskan pembicaraan itu, aku ingin menagis meledak.
Tiba-tiba suamiku menjawab “Lalu apa Bunda?”

Aku kaget mendengar kata itu, yang tadinya aku menunduk seketika aku langsungmenatapnya dengan mata yang berbinar-binar…
“Bisa kamu ulangi apa yang kamu ucapkan barusan?”, pintaku tuk menyakini bahwakuping ini tidak salah mendengar.
Dia mengangguk dan berkata, “Baik bunda akan ayah ulangi, lalu apa bunda?”,sambil ia mengelus wajah dan menghapus airmataku, dia agak sedikit membungkukkarena dia sangat tinggi, aku hanya sedadanya saja.

Dia tersenyum sambil berkata, “Kita liat saja nanti ya!”. Dia memelukku danberkata, “bunda adalah wanita yang paling kuat yang ayah temui selain mama”.
Kemudian ia mencium keningku, aku langsung memeluknya erat dan berkata, “Ayah,apakah ini akan segera berakhir? Ayah kemana saja? Mengapa Ayah berubah? Akukangen sama Ayah? Aku kangen belaian kasih sayang Ayah? Aku kangen denganmanjanya Ayah? Aku kesepian Ayah? Dan satu hal lagi yang harus Ayah tau, bahwaaku tidak pernah berzinah! Dulu.. waktu awal kita pacaran, aku memang belumbisa melupakannya, setelah 4 bulan bersama Ayah baru bisa aku terima, jika yangdihadapanku itu adalah lelaki yang aku cari. Bukan berarti aku pernah berzinaAyah.” Aku langsung bersujud di kakinya dan muncium kaki imamku sambil berkata,”Aku minta maaf Ayah, telah membuatmu susah”.

Saat itu juga, diangkatnya badanku.. ia hanya menangis.
Ia memelukku sangat lama, 2 tahun aku menanti dirinya kembali. Tiba-tibaperutku sakit, ia menyadari bahwa ada yang tidak beres denganku dan iabertanya, “bunda baik-baik saja kan?” tanyanya dengan penuh khawatir.
Aku pun menjawab, “bisa memeluk dan melihat kamu kembali seperti dulu itu sudahmebuatku baik, Yah. Aku hanya tak bisa bicara sekarang”. Karena dia akanmenikah. Aku tak mau membuat dia khawatir. Dia harus khusyu menjalani acaraprosesi akad nikah tersebut.

***


Setelah tiba dimasjid, ijab-qabul pun dimulai. Aku duduk diseberang suamiku.
Aku melihat suamiku duduk berdampingan dengan perempuan itu, membuat hati inicemburu, ingin berteriak mengatakan, “Ayah jangan!!”, tapi aku ingat akan kondisiku.

Jantung ini berdebar kencang saat mendengar ijab-qabul tersebut. Begituijab-qabul selesai, aku menarik napas panjang. Tante Lia, tante yang baik itu,memelukku. Dalam hati aku berusaha untuk menguatkan hati ini. Ya… aku kuat.

Tak sanggup aku melihat mereka duduk bersanding dipelaminan. Orang-orang yanghadir di acara resepsi itu iba melihatku, mereka melihatku dengan tatapansangat aneh, mungkin melihat wajahku yang selalu tersenyum, tapi dibalik itu..hatiku menangis.
Sampai dirumah, suamiku langsung masuk ke dalam rumah begitu saja. Tak mencucikakinya. Aku sangat heran dengan perilakunya. Apa iya, dia tidak suka denganpernikahan ini?

Sementara itu Desi disambut hangat di dalam keluarga suamiku, tak seperti akudahulu, yang di musuhi.
Malam ini aku tak bisa tidur, bagaimana bisa? Suamiku akan tidur denganperempuan yang sangat aku cemburui. Aku tak tahu apa yang sedang mereka lakukandidalam sana.
Sepertiga malam pada saat aku ingin sholat lail aku keluar untuk berwudhu, laluaku melihat ada lelaki yang mirip suamiku tidur disofa ruang tengah. Kudekatilalu kulihat. Masya Allah.. suamiku tak tidur dengan wanita itu, ia ternyatatidur disofa, aku duduk disofa itu sambil menghelus wajahnya yang lelah,tiba-tiba ia memegang tangan kiriku, tentu saja aku kaget.

“Kamu datang ke sini, aku pun tahu”, ia berkata seperti itu. Aku tersenyum danmegajaknya sholat lail. Setelah sholat lail ia berkata, “maafkan aku, aku takboleh menyakitimu, kamu menderita karena ego nya aku. Besok kita pulang keJakarta, biar Desi pulang dengan mama, papa dan juga adik-adikku”

Aku menatapnya dengan penuh keheranan. Tapi ia langsung mengajakku untukistirahat. Saat tidur ia memelukku sangat erat. Aku tersenyum saja, sudah lamaini tidak terjadi. Ya Allah.. apakah Engkau akan menyuruh malaikat maut untukmengambil nyawaku sekarang ini, karena aku telah merasakan kehadirannya saatini. Tapi.. masih bisakah engkau ijinkan aku untuk merasakan kehangatan darisuamiku yang telah hilang selama 2 tahun ini..

Suamiku berbisik, “Bunda kok kurus?”
Aku menangis dalam kebisuan. Pelukannya masih bisa aku rasakan.
Aku pun berkata, “Ayah kenapa tidak tidur dengan Desi?”
“Aku kangen sama kamu Bunda, aku tak mau menyakitimu lagi. Kamu sudah seringterluka oleh sikapku yang egois.” Dengan lembut suamiku menjawab seperti itu.

Lalu suamiku berkata, “Bun, ayah minta maaf telah menelantarkan bunda.. Selamaayah di Sabang, ayah dengar kalau bunda tidak tulus mencintai ayah, bundaseperti mengejar sesuatu, seperti mengejar harta ayah dan satu lagi.. ayahpernah melihat sms bunda dengan mantan pacar bunda dimana isinya kalau bundagak mau berbuat “seperti itu” dan tulisan seperti itu diberi tanda kutip (“sepertiitu”). Ayah ingin ngomong tapi takut bunda tersinggung dan ayah berpikir kalaubunda pernah tidur dengannya sebelum bunda bertemu ayah, terus ayah dimarahioleh keluarga ayah karena ayah terlalu memanjakan bunda”

Hati ini sakit ketika difitnah oleh suamiku, ketika tidak ada kepercayaan didirinya, hanya karena omongan keluarganya yang tidak pernah melihat betapatulusnya aku mencintai pasangan seumur hidupku ini.
Aku hanya menjawab, “Aku sudah ceritakan itu kan Yah. Aku tidak pernah berzinahdan aku mencintaimu setulus hatiku, jika aku hanya mengejar hartamu, mengapaaku memilih kamu? Padahal banyak lelaki yang lebih mapan darimu waktu itu Yah.Jika aku hanya mengejar hartamu, aku tak mungkin setiap hari menangis karenamenderita mencintaimu.”

Entah aku harus bahagia atau aku harus sedih karena sahabatku sendirian dikamarpengantin itu. Malam itu, aku menyelesaikan masalahku dengan suamiku danberusaha memaafkannya beserta sikap keluarganya juga.
Karena aku tak mau mati dalam hati yang penuh dengan rasa benci.

***


Keesokan harinya…
Ketika aku ingin terbangun untuk mengambil wudhu, kepalaku pusing, rahimkusakit sekali.. aku mengalami pendarahan dan suamiku kaget bukan main, ialangsung menggendongku.
Aku pun dilarikan ke rumah sakit..
Dari kejauhan aku mendengar suara zikir suamiku..
Aku merasakan tanganku basah..
Ketika kubuka mata ini, kulihat wajah suamiku penuh dengan rasa kekhawatiran.

Ia menggenggam tanganku dengan erat.. Dan mengatakan, “Bunda, Ayah minta maaf…”
Berkali-kali ia mengucapkan hal itu. Dalam hatiku, apa ia tahu apa yang terjadipadaku?
Aku berkata dengan suara yang lirih, “Yah, bunda ingin pulang.. bunda inginbertemu kedua orang tua bunda, anterin bunda kesana ya, Yah..”
“Ayah jangan berubah lagi ya! Janji ya, Yah… !!! Bunda sayang banget samaAyah.”

Tiba-tiba saja kakiku sakit sangat sakit, sakitnya semakin keatas, kakiku sudahtak bisa bergerak lagi.. aku tak kuat lagi memegang tangan suamiku. Kulihatwajahnya yang tampan, berlinang air mata.
Sebelum mata ini tertutup, kulafazkan kalimat syahadat dan ditutup dengankalimat tahlil.

Aku bahagia melihat suamiku punya pengganti diriku..
Aku bahagia selalu melayaninya dalam suka dan duka..
Menemaninya dalam ketika ia mengalami kesulitan dari kami pacaran sampai kamimenikah.

Aku bahagia bersuamikan dia. Dia adalah nafasku.
Untuk Ibu mertuaku : “Maafkan aku telah hadir didalam kehidupan anakmu sampaiaku hidup didalam hati anakmu, ketahuilah Ma.. dari dulu aku selalu berdo’aagar Mama merestui hubungan kami. Mengapa engkau fitnah diriku didepan suamiku,apa engkau punya buktinya Ma? Mengapa engkau sangat cemburu padaku Ma? Fikritetap milikmu Ma, aku tak pernah menyuruhnya untuk durhaka kepadamu, dari duluaku selalu mengerti apa yang kamu inginkan dari anakmu, tapi mengapa kau bencidiriku. Dengan Desi kau sangat baik tetapi denganku menantumu kau bersikapsebaliknya.”

***

Setelah ku buka laptop, kubaca curhatan istriku.
========================

Ayah,mengapa keluargamu sangat membenciku?
Aku dihina oleh mereka ayah.
Mengapa mereka bisa baik terhadapku pada saat ada dirimu?
Pernah suatu ketika aku bertemu Dian di jalan, aku menegurnya karena dia adikiparku tapi aku disambut dengan wajah ketidaksukaannya. Sangat terlihat Ayah..
Tapi ketika engkau bersamaku, Dian sangat baik, sangat manis dan ia memanggilkudengan panggilan yang sangat menghormatiku. Mengapa seperti itu ayah?

Aku tak bisa berbicara tentang ini padamu, karena aku tahu kamu pasti membelaadikmu, tak ada gunanya Yah..
Aku diusir dari rumah sakit.
Aku tak boleh merawat suamiku.
Aku cemburu pada Desi yang sangat akrab dengan mertuaku.
Tiap hari ia datang ke rumah sakit bersama mertuaku.
Aku sangat marah..
Jika aku membicarakan hal ini pada suamiku, ia akan pasti membela Desi danibunya..

Aku tak mau sakit hati lagi.
Ya Allah kuatkan aku, maafkan aku..
Engkau Maha Adil..
Berilah keadilan ini padaku, Ya Allah..
Ayah sudah berubah, ayah sudah tak sayang lagi pada ku..
Aku berusaha untuk mandiri ayah, aku tak akan bermanja-manja lagi padamu..

Aku kuat ayah dalam kesakitan ini..
Lihatlah ayah, aku kuat walaupun penyakit kanker ini terus menyerangku..
Aku bisa melakukan ini semua sendiri ayah..
Besok suamiku akan menikah dengan perempuan itu.
Perempuan yang aku benci, yang aku cemburui.
Tapi aku tak boleh egois, ini untuk kebahagian keluarga suamiku.
Aku harus sadar diri.
Ayah, sebenarnya aku tak mau diduakan olehmu.
Mengapa harus Desi yang menjadi sahabatku?
Ayah.. aku masih tak rela.

Tapi aku harus ikhlas menerimanya.
Pagi nanti suamiku melangsungkan pernikahan keduanya.
Semoga saja aku masih punya waktu untuk melihatnya tersenyum untukku.
Aku ingin sekali merasakan kasih sayangnya yang terakhir.
Sebelum ajal ini menjemputku.
Ayah.. aku kangen ayah..

===========


Dan kini aku telah membawamu ke orang tuamu, Bunda..
Aku akan mengunjungimu sebulan sekali bersama Desi di Pulau Kayu ini.
Aku akan selalu membawakanmu bunga mawar yang berwana pink yang mencerminkankeceriaan hatimu yang sakit tertusuk duri.
Bunda tetap cantik, selalu tersenyum disaat tidur.
Bunda akan selalu hidup dihati ayah.

Bunda.. Desi tak sepertimu, yang tidak pernah marah..
Desi sangat berbeda denganmu, ia tak pernah membersihkan telingaku, rambutkutak pernah di creambathnya, kakiku pun tak pernah dicucinya.
Ayah menyesal telah menelantarkanmu selama 2 tahun, kamu sakit pun aku takperduli, hidup dalam kesendirianmu..
Seandainya Ayah tak menelantarkan Bunda, mungkin ayah masih bisa tidur denganbelaian tangan Bunda yang halus.

Sekarang Ayah sadar, bahwa ayah sangat membutuhkan bunda..
Bunda, kamu wanita yang paling tegar yang pernah kutemui.
Aku menyesal telah asik dalam ke-egoanku..
Bunda.. maafkan aku.. Bunda tidur tetap manis. Senyum manjamu terlihat ditidurmu yang panjang.
Maafkan aku, tak bisa bersikap adil dan membahagiakanmu, aku selalu meng-iyakanapa kata ibuku, karena aku takut menjadi anak durhaka. Maafkan aku ketika kaudi fitnah oleh keluargaku, aku percaya begitu saja.

Apakah Bunda akan mendapat pengganti ayah di surga sana?
Apakah Bunda tetap menanti ayah disana? Tetap setia dialam sana?
Tunggulah Ayah disana Bunda..
Bisakan? Seperti Bunda menunggu ayah di sini.. Aku mohon..

Ayah Sayang Bunda..

Setelah Kau Menikahiku 4 (Pernikahan Simulasi Part 4)

0 komentar
 

"Kita tidak bisa bertemu lagi Pram," ujarku kepada Pram di telepon. Separuh jiwaku rasanya terbang dan hilang saat kata-kata itu kuucapkan.
...

"Kenapa? Idan melarangmu?"

"Dia tidak tahu apa-apa."

"Kenapa kau terus memikirkan dia, Ta. Pikirkan dirimu sendiri. Apa kau sudi menghabiskan hidupmu dengan orang yang tidak kau cintai, sedangkan denganku kau bisa mendapatkan semuanya?"

Kugigit bibir ku saat setetes air bergulir di pipiku.

"Ita, akuilah. Aku menemukan separuh hatiku kepadamu dan hidupmu baru akan lengkap denganku. Selama ini, aku sendirian dan kau dengan Idan, hidup kita hanya mimpi, cacat, timpang. Dan kita baru akan memulai hidup, setelah kita bersama. Saat ini kau tidak punya apa-apa, Ta, tidak juga masa depan, tapi berdua, kita akan miliki segalanya...."

"Hentikan," potongku dengan suara bergetar.

"Kalau kau minta aku untuk berhenti berusaha mendapatkanmu lagi, kau hanya buang-buang waktu dan tenaga. Kau tahu aku tidak semudah itu disuruh mundur. Ini menyangkut sisa hidup ku dan hidupmu. Tidak ada yang lebih penting dari itu dan aku tidak akan berhenti sampai kau kembali denganku."

"Aku tidak bisa...."

"Kenapa tidak?"

Ya, kenapa tidak. Pernikahan ini hanya sebuah permainan. Menyenangkan memang. Tapi tetap hanya sekadar sandiwara. Tapi kenapa rasanya berat sekali memutuskannya?

"Kau tidak mencintai Idan, Ta. Kau berbeda dengannya, jadi bukan kesalahanmu kalau kau tidak bisa mencinta inya. Satu-satunya perasaan yang layak kau simpan untuknya cuma iba, karena ia tidak akan pernah bisa mendapatkan hatimu dan ia akan selamanya menikah dengan perempuan yang mencintai lelaki lain."

"Aku...."

"Akuilah, Ta, kau mencintaiku. Kebersamaan kita adalah takdir."

Kututup mikrofon dengan tanganku dan menghela napas panjang. Seluruh tubuhku rasanya terbakar dan lunglai dan dunia seperti berputar makincepat. Kupejamkan mataku.

"Aku tidak mencintaimu," gumamku.

"Lebih keras lagi."

"Aku tidak mencintaimu."

"Kau berbohong."

Lama sekali aku terdiam sebelum akhirnya sanggup mengucapkan, "Ya."

"Ita," suara Pram gemetar. "Aku berjanji untuk selalu membuatmu bahagia."

Aku tahu sejak awal bahwa permainanku dengan Idan akan berakhir, cepat atau lambat. Tapi hatiku tetap enggan berdamai dengan kenyataan bahwa aku harus bicara padanya tentang perpisahan. Aku sadar bahwa Idan sendiri tidak berhak dan tidak mungkin menghentikanku. Bahkan, mungkin ia akan merasa lega dengan keputusanku itu, karena akhirnya ia bisa membenahi hidupnya sendiri lagi.

Mustahil ia akan menolak berpisah denganku. Apalagi, aku juga tahu ia sangat menyayangiku dan ingin aku bahagia. Dan aku tahu, keputusan untuk kembali kepada Pram adalah yang terbaik untukku dan masa depanku, sesuatu yang pasti akan didukung oleh Idan. Aku yakin keputusanku itu tidak merugikan siapa pun. Kenapa aku harus segan menyampaikannya pada Idan? Mula-mula aku berjanji kepada diriku sendiri untuk mencari waktu yang tepat.

Tapi saat itu tak pernah datang. Setiap kali, aku dilanda keraguan dan akhirnya membatalkan niatku. Pram tidak bisa mengerti itu.

"Aku ingin kita menikah sebelum aku kembali ke Jerman, Ta. Dan kau harus menempuh masa idahmu dulu. Belum lagi kita harus memikirkan pendapat orang lain yang pasti berkomentar kalau kau menikah denganku segera setelah masa idahmu selesai. Dan aku hanya di sini sepuluh bulan lagi."

"Aku tahu. Aku juga berpikir begitu. Tapi... Entahlah."

"Apa kau tidak yakin aku akan membuatmu bahagia?"

"Aku...." aku tergagap dan menggeleng.

"Jadi, bicaralah dengan Idan."

Sore itu, aku pulang dengan hati berat. Aku sudah bertekad untuk bicara dengan Idan malam itu juga. Aku tak akan menundanya lagi. Begitu aku tiba di rumah, Idan sudah menungguku di teras. Matanya berbinar dan wajahnya berseri saat aku mendekati teras, hingga aku jadi berpikir, ada apa sebenarnya.

"Kenapa kau sudah di rumah?" tanyaku.

Idan menyilangkan telunjuknya di depan bibir dan menggandeng tanganku ke dalam rumah.

"Ada apa?"

"Sst!"

Ia membawaku ke serambi samping. Dengan bangga dikembangkannya tangannya. Di sana ada sebuah ayunan rotan berwarna putih, cukup lebar untuk tiga orang, dengan bantal-bantal yang kelihatan sangat mengundang, berwarna hijau dengan gambar... mawar putih?

"Ini hadiah ulang tahun pertama perkawinan kita," katanya.

Mataku beralih cepat dari ayunan rotan itu. Wajah Idan benar-benar sumringah. Di matanya ada sekelumit keheranan melihat wajahku yang pasti telah berubah warna.

"Aku... aku tidak punya hadiah apa-apa," gumamku sambil kembali menatap ayunan itu, menyembunyikan kalutku. "Aku lupa...."

Idan tertawa. "Kau bahkan tidak ingat ulang tahunmu sendiri," katanya.

Ia duduk diayunan itu. "Ayo," katanya sambil menarik tanganku.

Aku duduk disampingnya, tak tahu mesti mengatakan apa. Aku benar-benar tidak ingat bahwa setahun lalu hari itu, aku dan Idan menikah, simulasi. Kenapa Idan harus menganggap hari itu demikian istimewa sementara aku sendiri sama sekali tak mengingatnya?

Idan mulai berayun-ayun pelan sambil menggenggam tanganku. Ia sedang menceritakan sebuah kejadian lucu di kantornya, tapi aku sama sekali tak mendengarkan. Di kepalaku berdenging ribuan kata-kata yang akan segera kuucapkan padanya. Aku telah berlatih dalam hati untuk mengutarakan segalanya, tegas dan jelas. Tapi sekarang, semua ketetapan hati yang telah kubangun runtuh berserpihan.

"Pit, kau tidak menyimak kata-kata Pak Guru, anak nakal," teguran Idan membuyarkan renunganku.

"Ada apa?"

Kutatap matanya. "Dan, Pram pulang."

Dahinya berkerut. "Pram?"

"Pacarku yang pergi ke Jerman."

"Oh," ia mengangguk. "Kapan?"

"Sebulan lalu, waktu aku ulang tahun."

Ia mengangguk lagi. Aku tak bisa mengucapkan apa-apa setelah itu. "Dia sudah menikah?" tanya Idan, seperti mendorongku bicara.

Aku menggeleng.

"Lalu?"

"Dia ingin menikah denganku," ujarku cepat-cepat, tanpa memandang wajahnya. "Ia hanya di sini sepuluh bulan lagi. Karena itu, aku ingin kita segera bercerai."

"Oh."

Idan tak mengatakan apapun selama beberapa saat. Pertanyaan berikutnya ia ajukan dengan ringan, seolah-olah sambil lalu, "Kau yakin ia mencintaimu?"

Aku mengangguk.

"Kau yakin akan bahagia dengannya?"

Sekali lagi aku hanya mengangguk.

"Kalau begitu, selamat," ketulusannya terdengar hangat. "Aku ikut bahagia."

Kuberanikan diri untuk menatap wajahnya. Dan aku tidak menemukan setitik pun kekecewaan di sana. Rasa lega meruahi hatiku.

Idan bertanya beberapa hal tentang Pram dan semuanya kujawab dengan antusiasme gadis belasan tahun yang mabuk asmara. Tapi setelah beberapa waktu, aku sadar kalau ia tidak sungguh-sungguh memperhatikan ceritaku.

"Dan?" tegurku.

"Ya?"

"Kau tidak mendengarkan. Apa yang sedang kau pikirkan?"

"Aku sedang berpikir, gadis mana yang bisa kuajak selingkuh, supaya kau punya alasan untuk bercerai denganku."


***


Malam itu aku terbangun saat Idan mengguncang bahuku.

"Pit, bangun!"

"Ada apa?" gumamku.

Jam alarm di sisi ranjangku baru menunjukkan pukul tiga lima belas dini hari.

"Ganti baju cepat, kita mesti ke rumah sekarang. Mama meninggal."

Aku terlonjak duduk. "Apa?"

"Ganti baju," perintah Idan sambil meninggalkan kamarku.

Aku terpaku sejenak sebelum akhirnya lari mengejar. "Kapan."

"Baru saja."

"Di?"

"Rumah. Ganti bajumu. Kita berangkat lima menit lagi."

"Idan...."

Ia membanting pintu kamar di depanku.

Aku kembali ke kamarku dan bergegas mengganti piyamaku dengan baju yang pantas. Ketika aku keluar, semua lampu belum menyala dan pintu depan masih tertutup. Juga pintu kamar Idan. Kuketuk pintu itu perlahan.

"Dan, aku sudah siap."

Tidak ada jawaban.

Aku menyelinap masuk. Kamar Idan gelap, tapi dengan cahaya samar lampu taman aku bisa melihatnya meringkuk di sudut, wajahnya tersembunyi dibalik kedua tangannya. Ia menepis tanganku, bahkan mendorongku terjungkal saat aku menyentuh bahunya. Tapi ketika untuk ketiga kalinya kuulurkan tanganku, ia tidak lagi menghindar, dan dalam rangkulanku ia menangis.

Hanya saat itu Idan tidak bisa mengontrol emosinya. Setelah itu ia kembali menjadi Idan yang rasional dan berkepala dingin, yang mengurus pemakaman, menerima para tamu dan menghibur keempat kakak perempuannya dengan ketenangan yang nyaris mengerikan.


***


Sore harinya, saat aku tengah membantu merapikan kembali ruang tamu, kakak tertua Idan, Kak Ira, menghampiriku.

"Pit, bawa Idan pulang."

"Apa tidak sebaiknya dia di sini dulu, Kak?"

Kak Ira menggeleng. "Coba lihat sendiri," katanya sambil menunjuk ke halaman belakang.

Idan kutemukan di sana, sedang mengisap sebatang rokok. Ia sudah tujuh belas tahun berhenti merokok dan melihatnya kembali pada kebiasaan itu membuatku sadar ia sedang bergelut dengan kepedihan yang lebih dalam dari yang ditunjukkannya.

Ketika aku mendekat, kulihat asbak di sampingnya telah penuh dengan puntung rokok dan kotak di atas meja tinggal berisi sebatang. Kucabut rokok itu dari antara jemarinya dan kubunuh di asbak. Idan tidak memprotes, ia bahkan tidak menatapku. Aku sadar Kak Ira memang benar. Aku harus segera membawa Idan jauh-jauh dari semua kenangan tentang ibunya.

"Aku mau pulang, Dan, " ujarku sambil memegang tangannya. Ia menggeleng pelan.

"Aku akan menginap di sini. Kau pulanglah sendiri. Besok aku pulang naik bus saja."

"Aku tidak mau sendirian di rumah."

Idan menghela napas berat dan akhirnya bangkit. Ia berpamitan kepada kakak dan iparnya dan keluar untuk mengambil mobil. Saat itu Kak Ira menggamit tanganku dan berbisik, "Aku senang Idan sudah menikah denganmu. Kau pasti bisa menghiburnya dalam saat-saat seperti ini. Ia paling merasa kehilangan dengan meninggalnya Mama. Kau tahu, ia tinggal dengan Mama selama tiga puluh tiga tahun."

Aku terpana sesaat. Dadaku ngilu. Kupeluk Kak Ira dengan hati menggigil. Bagaimana bisa kukatakan kepadanya bahwa aku dan Idan sudah sepakat untuk mengakhiri pernikahan ini secepatnya?


***


Sesampai di rumah, Idan langsung menuju ke kamarnya.

"Kau mau kumasakkan nasi goreng, Dan?"

"Nanti saja. Aku tidak lapar."

"Kau tidak makan apa-apa dari kemarin subuh. Nanti kau sakit. Mau ya?"

Idan mengangguk dengan mata hampa. Aku jadi semakin khawatir melihatnya.

"Tunggu di sini," ujarku lagi. "Aku tidak akan lama."

Ketika aku baru saja mengambil telur dari lemari es, aku mendengar suara Idan di kamar mandi. Ia kutemukan membungkuk di wastafel, menangis dan muntah hampir bersamaan. Untuk sesaat kepanikan melumpuhkanku dan aku hanya bisa terpaku diambang pintu, tak pasti apa yang harus kulakukan. Insting pertamaku adalah lari keluar mencari bantuan. Tapi aku tidak mungkin meninggalkan Idan dalam keadaan seperti itu. Kuhampiri Idan dengan ragu.

Perlahan kuelus punggungnya dan sentuhanku agaknya sedikit menenangkannya, dan lambat laun isaknya mereda. Ini membuatku lebih yakin dengan apa yang mesti kulakukan selanjutnya. Kupijat tengkuknya dan kuseka keringat di dahinya. Tapi tiba-tiba saja ia terkulai lemas, dan kalau aku tidak segera meraihnya ke dalam pelukanku, ia pasti akan terpuruk ke lantai. Pelan-pelan kupapah ia ke kamar dan kubaringkan di ranjang. Kubuka kemejanya yang basah dan kuselimuti badannya yang menggigil.

"Maaf, Pit," bisiknya. "Aku tidak bisa menangis di depan kakak-kakakku. Mereka...."

"Aku tahu. Tidak apa-apa," tanganku masih gemetar saat aku mengelus rambutnya.

"Aku buatkan teh panas, nanti kau minum, ya." Ia mengangguk dan aku beranjak meninggalkannya. Ketika aku kembali, ia kelihatan agak lebih baik.

Dihirupnya sedikit teh yang kubawa. Wajahnya tidak lagi pucat setelah itu. Ketika aku merapikan kembali selimutnya, ia memegang tanganku.

"Terima kasih."

"Kau pernah melakukan lebih dari ini untukku."

"Bukan untuk tehnya. Untuk tidak memberiku pernapasan buatan," ia tersenyum nakal.

"Oh, kau!" aku ikut tersenyum, lega.

"Dan untuk menikah denganku," lanjut Idan kemudian, ekspresinya begitu serius.

"Setidak-tidaknya sebelum meninggal, Mama bisa tenang karena mengira aku sudah beristri. "

Aku tertegun sesaat. Suaraku goyah dan terbata saat aku bicara, "Aku yang mesti berterima kasih kepadamu."

"Untuk apa?"

"Untuk setahun yang kau lewati denganku. Untuk kesabaranmu. Pengorbananmu."

Idan tersenyum kecil. "Aku tidak melakukan apapun yang tidak kusukai. Ini setahun yang sangat menyenangkan untukku. Seharusnya aku yang berterima kasih."

"Jangan memaksa," aku mencoba bercanda. "Aku yang harus berterima kasih. Mengalahlah sedikit."

Idan tersenyum dan mencubit hidungku. Tangannya tidak sedingin tadi dan itu melenyapkan sisa-sisa kekhawatiranku.

"Aku masih tidak mengerti kenapa kau akhirnya mau terlibat dengan ide gilaku ini," katanya.

"Entahlah, Dan," aku tertawa kecil. "Mungkin aku sudah sangat capai berkilah tiap kali ibuku merongrong soal perkawinan. Dan aku melihat usulmu itu sebagai jawaban yang paling jitu untuk menyelesaikan dua masalah sekaligus, keenggananku untuk menikah, karena tidak ada calon yang pas; dan keinginan ibuku yang menggebu-gebu untuk segera melihatku menikah."

"Apa yang kau dapat setelah setahun kita menikah?" tanyanya dengan mimik lebih serius.

Aku terdiam sejenak. "Banyak," jawabku akhir nya. "Aku belajar bahwa aku tidak menikah dengan malaikat atau monster, tapi dengan manusia, yang punya kekurangan yang harus kumaafkan dan keistimewaan yang tidak bisa kuabaikan. Aku belajar bahwa dalam pernikahan, bila kita tidak mendapatkan apa yang kita inginkan tidak selalu berarti kekalahan, tapi boleh jadi suatu kemenangan bersama."

Aku ingin menambahkan bahwa pernikahan membutuhkan cinta dan kesetiaan seperti gurun memerlukan air, tapi aku tidak punya nyali untuk menyatakan semua itu.

"Kau memang selalu pintar bicara," Idan tersenyum.

"Kau sendiri? Apa ya ng kau pelajari selama ini?"

"Hanya satu. Hidupku mungkin tidak akan pernah sebahagia ini lagi setelah kau pergi."

Aku tertegun. "Apa maksudmu?"

Idan bangkit dan duduk mencangkung menatapku. "Tahun ini adalah saat paling bahagia dalam hidupku. Setiap aku bangun pagi dan mendengar suaramu, aku jadi berpikir aku adalah laki-laki paling bahagia di dunia ini. Dan setiap malam waktu aku pulang dan kau tersenyum menyambutku, aku merasa aku jadi manusia paling beruntung di seluruh jagad raya. Aku jadi sangat terbiasa dengan kehadiranmu bahkan mulai berharap kau akan bersamaku terus, walaupun harapan itu, aku tahu, konyol. Tapi kalau kau mencintai seseorang seperti aku mencintaimu, kau akan kehilangan akal sehat."

Kutatap wajah Idan lekat-lekat. Ia tidak kelihatan sedang bercanda. Ia tampak sangat tenang dan serius.

"Aku masih belum mengerti," bisikku.

"Pernikahan ini tidak pernah hanya sebuah simulasi untukku, Pit. Ini adalah pernikahan sesungguhnya untukku."

"Apa maksudmu kau mencintaiku ?" suaraku tercekik.

"Apa yang tidak kau pahami? Aku mencintaimu," kata-kata Idan begitu lugas, menghantamku seperti sebuah pukulan keras yang membuatku terempas.

"Aku mencintaimu sejak kau memarahiku karena nyaris melindas kelincimu, dua puluh tahun yang lalu, waktu kita masih sama-sama belasan tahun. Dan aku tidak pernah bisa berhenti mencintaimu hingga kini."

"Kau... kau tidak pernah...."

"Kau tidak pernah memberiku kesempatan. Kau selalu sedang jatuh cinta dengan orang lain atau patah hati karena orang lain, dan kau selalu datang kepadaku menceritakan semuanya. Aku tahu aku bukan lelaki idamanmu. Aku tidak menggambar. Tidak menulis puisi. Kalau kau bilang sebuah lukisan itu bagus, aku tidak mengerti kenapa. Aku bukan jago pidato dan calon ketua OSIS yang kau gilai di SMA. Aku bukan aktivis kampus yang membuatmu mabuk kepayang waktu kuliah dulu. Aku terlalu biasa-biasa saja. Aku tahu ini sangat menyedihkan, memalukan dan aku benci kau kasihani. Tapi selama ini aku benar-benar tidak punya keberanian, belum lagi kesempatan, untuk berterus terang kepadamu."

"Kau tidak pernah biasa-biasa saja, Dan," ujarku lirih. "Kau istimewa dengan caramu sendiri."

Ia mengangkat bahu. "Tidak cukup untuk kau cintai."

Sesaat aku hanya bisa terdiam, menatap kedua mata Idan, mencari tanda-tanda kalau semua ini hanya salah satu dari sekian banyak permainannya. Tapi ia kelihatan sungguh-sungguh.

"Kenapa kau katakan semua ini kepadaku waktu kita akan berpisah seperti ini? Apa yang kau inginkan?" tanyaku datar.

Idan tersenyum kecil. Ada kepedihan dalam senyumnya, sesuatu yang tak pernah kutemukan sebelumnya. "Aku sendiri tidak tahu kenapa aku mesti mengatakan semua ini kepadamu. Aku hanya ingin kau tahu aku mencintaimu. Bukan karena aku masih berharap kau akan mencintaiku juga. Sekarang tidak ada bedanya lagi. Tapi aku ingin kau tahu kalau kau tetap memiliki cintaku, apapun yang terjadi, bahkan jika akhirnya kau benci kepadaku atau melupakanku sekalipun."

Ia tertunduk sesaat. Ada sorot yang asing berpijar di matanya saat ia kembali menatapku. "Dan kalau kau tanya apa yang kuinginkan, aku ingin kau disini bersamaku, seumur hidupku. Aku ingin kau belajar dan akhirnya benar-benar mencintaiku, mungkin tidak akan pernah sedalam dan separah cintaku kepadamu, tapi setidaknya kau tidak lagi menganggapku hanya sekedar sahabatmu, tapi juga kekasihmu. Aku ingin mencintaimu lebih dari yang pernah kutunjukkan."

Ia menghela napas berat. "Tapi itu semua keinginanku. Bukan kemauanmu. Kebahagiaanku, belum tentu kebahagiaanmu juga."

Lama kami berdua saling berpandangan.

"Terima kasih, Dan," desahku akhirnya. Kupeluk ia erat-erat, menyembunyikan air mataku di bahunya.


***


"Aku sudah bicara dengan Idan, Pram. Tapi aku terpaksa menunda proses perceraian itu. Idan baru saja kehilangan ibunya. Rasanya tidak pantas bicara soal perceraian saat ini."

"Berapa lama?"

"Entahlah. Sebulan dua bulan mungkin."

"Kau tahu waktu kita sangat terbatas, Ta. Aku tidak bisa menunda kepulanganku ke Jerman. Dan aku tidak tahu kapan aku bisa kembali ke sini lagi. Mungkin tidak dalam setahun atau dua tahun ke depan. Dan kita akan kehilangan waktu yang mestinya bisa kita lewati berdua."

"Aku tahu, Pram. Tapi aku tidak mungkin meninggalkan Idan sekarang. Dia membutuhkan aku."

"Aku lebih membutuhkanmu dari dia, Ta. Dan pikirkan dirimu sendiri. Apa kau tidak ingin kita bisa seterusnya bersama?"

Aku menghela napas panjang. "Entahlah, Pram, " bisikku.

"Apa maksudmu?" suara Pram terdengar kaget.

"Aku.... Aku tidak akan bahagia kalau Idan menderita."

"Ita! Kau tidak.... Dengar, pikir baik-baik. Menurutmu, kalau kau tersiksa hidup dengannya, ia akan bahagia?"

"Aku tidak merasa menderita menjadi istrinya."

"Tapi kau tidak bahagia!"

"Aku bahagia, Pram. Mungkin tidak seperti saat aku bersamamu. Tapi Idan membuatku bahagia."

"Kau tidak bisa melakukan ini, Ta. Kau hanya kasihan kepadanya. Sebentar lagi kau akan berubah pikiran dan saat itu kau akan menyesal karena membuang kesempatan ini."

"Aku bisa belajar memaafkan diriku sendiri."

"Ita, kau tidak mencintainya!"

"Ia mencintaiku. Itu lebih dari cukup."

"Kau hanya bingung, Ta. Aku mengerti. Tapi apa kau lupa kalau aku sangat mencintaimu?"

"Aku tidak pernah akan lupa, Pram."

"Lantas apa yang membuatmu berubah pikiran secepat ini?"

"Idan mengajariku tentang cinta."

"Hanya karena itu?"

"Juga karena aku yakin, aku akan belajar mencintainya."

"Ita...."

"Selamat tinggal, Pram. Mudah-mudahan kau akan sebahagia aku nantinya, atau mungkin lebih bahagia lagi."

Telepon kututup sebelum air mataku luruh.

"Upit."

Aku tersentak dan berbalik seketika. Entah sudah berapa lama Idan berdiri di belakangku. Wajahnya penuh tanda tanya dan ia menggeleng perlahan sambil duduk di lantai di sisi kursiku.

"Kenapa?" tanyanya.

Aku tak bisa menjawab. Air mataku menetes satu-satu dan dengan lembut ia menyeka pipiku dengan jarinya.

"Aku tak bisa melihatmu begini," lanjutnya pelan. "Ini keputusan yang sangat konyol, Pit. Kau benar-benar akan membiarkan kesempatanmu berlalu sekali lagi?"

Aku mengangguk.

"Dia akan membuatmu sangat bahagia, Pit."

Aku mengangguk.

"Kau akan menyesal."

Aku mengangguk.

"Kau akan sedih, kecewa...."

Aku mengangguk.

"Kau tidak mencintaiku."

Aku menggeleng.

Idan terbelalak. "Upit!" pekiknya tertahan. "Idan!"


(Bersambung ke Part 5)

Penulis: Novia Stephani
Pemenang I sayembara mengarang cerber femina 2003

Total Tayangan Halaman

Diberdayakan oleh Blogger.

Entri Populer

about me !!!

Foto saya
I was not pretty, I'm not smart, not rich, not talented, but who obviously I was not bad. and I am not a bad person especially cruel.

follow me on facebook

clock