Agustus 12, 2014

Terima Kasih Ayah (Dehan Hanifah)

2 komentar
Kebahagiaan meliputi perasaanku hari itu. Hari dimana aku dan tiga orang temanku akan menginjakkan kaki untuk yang pertama kalinya di Bandung untuk registrasi perkuliahan di semester pertama. Kami daftar melalui jalur SBMPTN dengan mengajukan beasiswa dari pemerintah. Tapi sebenarnya beasiswa itupun belum pasti karena katanya masih ada seleksi. Yaa,,, tapi kami punya cadangan, yaitu beasiswa hafalan Al-Qur’an. Kebetulan kami semua sudah mengikuti program unggulan di pondok, yaitu tahfidz Al-Qur’an, walaupun hafalan kami masih sedikit, tapi memenuhi persyaratan lah.
Dengan kepolosan yang masih melekat, kami tidak tahu apa-apa mengenai perkuliahan, kami berangkat ke Bandung menuju salah satu universitas Islam negeri tanpa uang sedikitpun kecuali hanya untuk bekal.
“Bagaimana kalo pas disana nanti kita malah disuruh bayar jutaan?” kata temanku tertawa mengingat kami memang tidak membawa uang sedikitpun.
“Iya juga ya. Yaa, tapi itu gimana nanti aja deh, yang penting sekarang kita berangkat aja dulu.” Kataku yakin. Kami memang bertekad untuk kuliah gratisan, hehe karena keluarga kami hanya orang biasa. Kami pun berangkat dengan perasaan senang yang bercampur takut. Takut nyasar, takut kuliah jadinya bayar, takut lapar--ehhh gak sih kalo buat makan ada kok. Hehe
Sesampainya di depan kampus, seorang sosok yang tak asing telah menuggu kami dengan sambutan sebuah senyuman yang manis. Sebelumnya kami memang telah meminta bantuan para alumni untuk mengarahkan apa yang harus kami lakukan untuk mengurusi Registrasi kami.
Oh iya, perkenalkan namaku Ifa Nurrahmah, seorang gadis yang berasal dari Kota Intan, Garut. Aku ke Bandung bersama teman sekelas dan sepesantren, yaitu Nur, Zulfakor, dan Abdul. Alumni yang tadi menunggu kami namanya Ridwan. Selain ka Ridwan ada juga alumni lain yang membantu kami yaitu teh Gita dan ka Masykur. Mereka semua begitu baik pada kami. Mereka rela kepanasan—yang waktu itu memang sedang tengah hari—dan bulak-balik untuk mengantarkan kami ke pihak kemahasiswaan.
Sungguh terkejutnya kami ketika ternyata beasiswa itu akan didapatkan jika kami telah resmi menjadi mahasiswa. Artinya kami harus registrasi dengan membayar uang sekitar tiga jutaan. Yang paling membuat kami bingung adalah terakhir registrasi itu besok, jadi kami harus punya uang tiga juta dalam waktu sehari.
Kebingungan membuat semangat kami pudar. Abdul menghubungi kakaknya yang juga kuliah di universitas yang sama, dan ternyata kakaknya juga lagi punya uang, jadi Abdul sudah bisa bernafas lega. Zul tidak mengambil pusing masalah ini karena dia sudah lulus juga dengan jalur lain yang tanggal registrasinya masih lama. Nur kebingungan harus bilang apa ke kedua orangtuanya. Sedangkan aku bilang apa adanya ke kedua orang tua dan kakakku yang sedang kuliah di Jogja. Kakakku mamberikan uang yang dia punya untuk meringankan beban ayahku, ayahku tinggal mencari sisanya. Walaupun sebenarnya aku berharap-harap cemas, tapi aku tidak mengatakannya pada keluargaku.
“De, kalau misalkan uangnya belum ada, gak papa ya gak kuliah tahun ini, mesantren dulu aja, kasihan ayah harus cari uang sebanyak itu hanya dalam waktu sehari. Ya walaupun ayahmu itu semangat mencarikanmu uang untuk kamu kuliah, tapi kalau tidak ada kamu harus sabar ya.” Kata ibu manasihatiku.
“Iya Bu. Aku gak papa kok.” Tanpa sadar aku berkata dengan suara parau. Aku memang berpikir tak apa tidak kuliah tahun ini. Tapi sebenarnya hatiku berkata lain. Sepertinya ibuku tau apa yang kurasakan, beliau menelponku berkali-kali hanya untuk menasihatiku. Begitu juga dengan ayahku, beliau terus menelponku, “Sabar ya, De. Insya Allah ayah sedang mengikhtiarkan.” Aku tak kuasa berbicara dengannya, suaraku semakin parau. Ayah aku tak ingin menyusahkanmu.
Aku mengambil air wudlu, kemudian shalat, menenangkan hati, dan mengadu pada-Nya. Begitu malu diri ini menghadap-Nya. Aku serius menghadap-Nya karena sedang membutuhkan sesuatu.
Ketika suara adzan berkumandang, hendphoneku berdering.
“De, uangnya udah ayah transfer. Serius ya De.” kata ayahku. Alhamdulillah, Allah mengabulkan do’aku atau mungkin do’a orang tuaku yang Dia kabulkan. Hatiku tiba-tiba terasa lega. Suaraku yang parau berubah nyaring kegirangan. Aku jadi malu sendiri pada ayahku. Setelah mendengar kabar itu aku segera shalat ashar dan langsung pergi ke bank bersama teh Gita untuk membayar uang registrasi.
Perjuangan awal yang memberatkan. Bukan memberatkan ku karena aku hanya duduk diam menunggu. Tapi memberatkan ayahku.
Itu baru pas registrasi aku menyusahkan ayahku di awal perkuliahan, belum lagi pas cari pondok, mempersiapkan semua kebutuhanku, dan banyak lagi lainnya selama setahun ini.
Perjuangan, pengorbanan dan semangat ayahku membuatku bertahan disini. Di kota Bandung. Yang sebenarnya aku lebih mengharapkan kota Jogja untuk berjuang. Jika aku pindah ke jogja, pengorbanan ayahku selama setahun terakhir ini terasa sia-sia karena di jogja aku harus memulainya lagi di awal.
“Serius ya De, fokus. Jangan lupa hafalan Al-Qur’annya terus di muraja’ah. Yang sabar. Belajar yang rajin. Maafkan ayah jika belum bisa penuhi semua keinginan ade.” Entah berapa puluh atau bahkan ratusan kali kata-kata ayah itu terdengar di balik saluran telpon. Kata-kata itu terkadang membuatku tak bisa lagi menahan air mata. Apalagi ku sadari, usaha ku disini belum maksimal. Terkadang aku masih boros, malas menghafal, menyia-nyiakan waktu, dan banyak kegiatan sia-sia lainnya yang ku lakukan.
“Ayah, maafkan aku, aku belum bisa melaksanakan semua nasihat yang ayah berikan. Maafkan aku yang belum bisa membalas jasa dan membahagiakanmu. Jangan pernah meminta maaf atas keinginanku yang belum bisa kau penuhi, karena itu bukan salahmu. Terima kasih Ayah, terima kasih untuk segalanya.”

Total Tayangan Halaman

Diberdayakan oleh Blogger.

Entri Populer

about me !!!

Foto saya
I was not pretty, I'm not smart, not rich, not talented, but who obviously I was not bad. and I am not a bad person especially cruel.

follow me on facebook

clock