Kebahagiaan meliputi perasaanku hari itu. Hari dimana aku dan tiga orang
temanku akan menginjakkan kaki untuk yang pertama kalinya di Bandung
untuk registrasi perkuliahan di semester pertama. Kami daftar melalui
jalur SBMPTN dengan mengajukan beasiswa dari pemerintah. Tapi sebenarnya
beasiswa itupun belum pasti karena katanya masih ada seleksi. Yaa,,,
tapi kami punya cadangan, yaitu beasiswa hafalan Al-Qur’an. Kebetulan
kami semua sudah mengikuti program unggulan di pondok, yaitu tahfidz
Al-Qur’an, walaupun hafalan kami masih sedikit, tapi memenuhi
persyaratan lah.
Dengan kepolosan yang masih melekat, kami tidak
tahu apa-apa mengenai perkuliahan, kami berangkat ke Bandung menuju
salah satu universitas Islam negeri tanpa uang sedikitpun kecuali hanya
untuk bekal.
“Bagaimana kalo pas disana nanti kita malah disuruh
bayar jutaan?” kata temanku tertawa mengingat kami memang tidak membawa
uang sedikitpun.
“Iya juga ya. Yaa, tapi itu gimana nanti aja deh,
yang penting sekarang kita berangkat aja dulu.” Kataku yakin. Kami
memang bertekad untuk kuliah gratisan, hehe karena keluarga kami hanya
orang biasa. Kami pun berangkat dengan perasaan senang yang bercampur
takut. Takut nyasar, takut kuliah jadinya bayar, takut lapar--ehhh gak
sih kalo buat makan ada kok. Hehe
Sesampainya di depan kampus,
seorang sosok yang tak asing telah menuggu kami dengan sambutan sebuah
senyuman yang manis. Sebelumnya kami memang telah meminta bantuan para
alumni untuk mengarahkan apa yang harus kami lakukan untuk mengurusi
Registrasi kami.
Oh iya, perkenalkan namaku Ifa Nurrahmah, seorang
gadis yang berasal dari Kota Intan, Garut. Aku ke Bandung bersama teman
sekelas dan sepesantren, yaitu Nur, Zulfakor, dan Abdul. Alumni yang
tadi menunggu kami namanya Ridwan. Selain ka Ridwan ada juga alumni lain
yang membantu kami yaitu teh Gita dan ka Masykur. Mereka semua begitu
baik pada kami. Mereka rela kepanasan—yang waktu itu memang sedang
tengah hari—dan bulak-balik untuk mengantarkan kami ke pihak
kemahasiswaan.
Sungguh terkejutnya kami ketika ternyata beasiswa itu
akan didapatkan jika kami telah resmi menjadi mahasiswa. Artinya kami
harus registrasi dengan membayar uang sekitar tiga jutaan. Yang paling
membuat kami bingung adalah terakhir registrasi itu besok, jadi kami
harus punya uang tiga juta dalam waktu sehari.
Kebingungan membuat
semangat kami pudar. Abdul menghubungi kakaknya yang juga kuliah di
universitas yang sama, dan ternyata kakaknya juga lagi punya uang, jadi
Abdul sudah bisa bernafas lega. Zul tidak mengambil pusing masalah ini
karena dia sudah lulus juga dengan jalur lain yang tanggal registrasinya
masih lama. Nur kebingungan harus bilang apa ke kedua orangtuanya.
Sedangkan aku bilang apa adanya ke kedua orang tua dan kakakku yang
sedang kuliah di Jogja. Kakakku mamberikan uang yang dia punya untuk
meringankan beban ayahku, ayahku tinggal mencari sisanya. Walaupun
sebenarnya aku berharap-harap cemas, tapi aku tidak mengatakannya pada
keluargaku.
“De, kalau misalkan uangnya belum ada, gak papa ya gak
kuliah tahun ini, mesantren dulu aja, kasihan ayah harus cari uang
sebanyak itu hanya dalam waktu sehari. Ya walaupun ayahmu itu semangat
mencarikanmu uang untuk kamu kuliah, tapi kalau tidak ada kamu harus
sabar ya.” Kata ibu manasihatiku.
“Iya Bu. Aku gak papa kok.” Tanpa
sadar aku berkata dengan suara parau. Aku memang berpikir tak apa tidak
kuliah tahun ini. Tapi sebenarnya hatiku berkata lain. Sepertinya ibuku
tau apa yang kurasakan, beliau menelponku berkali-kali hanya untuk
menasihatiku. Begitu juga dengan ayahku, beliau terus menelponku, “Sabar
ya, De. Insya Allah ayah sedang mengikhtiarkan.” Aku tak kuasa
berbicara dengannya, suaraku semakin parau. Ayah aku tak ingin
menyusahkanmu.
Aku mengambil air wudlu, kemudian shalat, menenangkan
hati, dan mengadu pada-Nya. Begitu malu diri ini menghadap-Nya. Aku
serius menghadap-Nya karena sedang membutuhkan sesuatu.
Ketika suara adzan berkumandang, hendphoneku berdering.
“De, uangnya udah ayah transfer. Serius ya De.” kata ayahku.
Alhamdulillah, Allah mengabulkan do’aku atau mungkin do’a orang tuaku
yang Dia kabulkan. Hatiku tiba-tiba terasa lega. Suaraku yang parau
berubah nyaring kegirangan. Aku jadi malu sendiri pada ayahku. Setelah
mendengar kabar itu aku segera shalat ashar dan langsung pergi ke bank
bersama teh Gita untuk membayar uang registrasi.
Perjuangan awal yang memberatkan. Bukan memberatkan ku karena aku hanya duduk diam menunggu. Tapi memberatkan ayahku.
Itu baru pas registrasi aku menyusahkan ayahku di awal perkuliahan,
belum lagi pas cari pondok, mempersiapkan semua kebutuhanku, dan banyak
lagi lainnya selama setahun ini.
Perjuangan, pengorbanan dan
semangat ayahku membuatku bertahan disini. Di kota Bandung. Yang
sebenarnya aku lebih mengharapkan kota Jogja untuk berjuang. Jika aku
pindah ke jogja, pengorbanan ayahku selama setahun terakhir ini terasa
sia-sia karena di jogja aku harus memulainya lagi di awal.
“Serius
ya De, fokus. Jangan lupa hafalan Al-Qur’annya terus di muraja’ah. Yang
sabar. Belajar yang rajin. Maafkan ayah jika belum bisa penuhi semua
keinginan ade.” Entah berapa puluh atau bahkan ratusan kali kata-kata
ayah itu terdengar di balik saluran telpon. Kata-kata itu terkadang
membuatku tak bisa lagi menahan air mata. Apalagi ku sadari, usaha ku
disini belum maksimal. Terkadang aku masih boros, malas menghafal,
menyia-nyiakan waktu, dan banyak kegiatan sia-sia lainnya yang ku
lakukan.
“Ayah, maafkan aku, aku belum bisa melaksanakan semua
nasihat yang ayah berikan. Maafkan aku yang belum bisa membalas jasa dan
membahagiakanmu. Jangan pernah meminta maaf atas keinginanku yang belum
bisa kau penuhi, karena itu bukan salahmu. Terima kasih Ayah, terima
kasih untuk segalanya.”
Agustus 12, 2014
Langganan:
Postingan (Atom)
Total Tayangan Halaman
Diberdayakan oleh Blogger.
Entri Populer
about me !!!

- Puji Wijayanti Suenaryo
- I was not pretty, I'm not smart, not rich, not talented, but who obviously I was not bad. and I am not a bad person especially cruel.